Sabtu, 06 September 2014

NAMA-NAMA ISTRI NABI MUHAMMAD SAW


1. SITI KHADIJAH: Nabi mengawini Khadijah ketika Nabi masih berumur 25 tahun, sedangkan Khadijah sudah berumur 40 tahun. Khadijah sebelumnya sudah menikah 2 kali sebelum menikah dengan Nabi SAW. Suami pertama Khadijah adalah Aby Haleh Al Tamimy dan suami keduanya adalah Oteaq Almakzomy, keduanya sudah meninggal sehingga menyebabkan Khadijah menjadi janda. Lima belas tahun setelah menikah dengan Khadijah, Nabi Muhammad SAW pun diangkat menjadi Nabi, yaitu pada umur 40 tahun. Khadijah meninggal pada tahun 621 A.D, dimana tahun itu bertepatan dengan Mi’raj nya Nabi Muhammad SAW ke Surga. Nabi SAW sangatlah mencintai Khadijah. Sehingga hanya setelah sepeninggalnya Khadijah lah Nabi SAW baru mau menikahi wanita lain.

2. SAWDA BINT ZAM’A: Suami pertamanya adalah Al Sakran Ibn Omro Ibn Abed Shamz, yang meninggal beberapa hari setelah kembali dari Ethiophia. Umur Sawda Bint Zam’a sudah 65 tahun, tua, miskin dan tidak ada yang mengurusinya. Inilah sebabnya kenapa Nabi SAW menikahinya.

3. AISHA SIDDIQA: Seorang perempuan bernama Kholeah Bint Hakeem menyarankan agar Nabi SAW mengawini Aisha, putri dari Aby Bakrs, dengan tujuan agar mendekatkan hubungan dengan keluarga Aby Bakr. Waktu itu Aishah sudah bertunangan dengan Jober Ibn Al Moteam Ibn Oday, yang pada saat itu adalah seorang Non-Muslim. Orang-orang di Makkah tidaklah keberatan dengan perkawinan Aishah, karena walaupun masih muda, tapi sudah cukup dewasa untuk mengerti tentang tanggung jawab didalam sebuah perkawinan. Nabi Muhammad SAW bertunangan dulu selama 2 tahun dengan Aishah sebelum kemudian mengawininya. Dan bapaknya Aishah, Abu Bakr pun kemudian menjadi khalifah pertama setelah Nabi SAW meninggal.

4. HAFSAH BINT UMAR: Hafsah adalah putri dari Umar, khalifah ke dua. Pada mulanya, Umar meminta Usman mengawini anaknya, Hafsah. Tapi Usman menolak karena istrinya baru saja meninggal dan dia belum mau kawin lagi. Umar pun pergi menemui Abu Bakar yang juga menolak untuk mengawini Hafsah. Akhirnya Umar pun mengadu kepada nabi bahwa Usman dan Abu Bakar tidak mau menikahi anaknya. Nabi SAW pun berkata pada Umar bahwa anaknya akan menikah demikian juga Usman akan kawin lagi. Akhirnya, Usman mengawini putri Nabi SAW yiatu Umi Kaltsum, dan Hafsah sendiri kawin dengan Nabi SAW. Hal ini membuat Usman dan Umar gembira.

5. ZAINAB BINT KHUZAYMA: Suaminya meninggal pada perang UHUD, meninggalkan dia yang miskin dengan beberapa orang anak. Dia sudah tua ketika nabi SAW mengawininya. Dia meninggal 3 bulan setelah perkawinan yaitu pada tahun 625 A.D.

6. SALAMA BINT UMAYYA: Suaminya, Abud Allah Abud Al Assad Ibn Al Mogherab, meninggal dunia, sehingga meninggalkan dia dan anak-anaknya dalam keadaan miskin. Dia saat itu berumur 65 tahun. Abu Bakar dan beberapa sahabat lainnya meminta dia mengawini nya, tapi karena sangat cintanya dia pada suaminya, dia menolak. Baru setelah Nabi Muhammad SAW mengawininya dan merawat anak-anaknya, dia bersedia.

7. ZAYNAB BINT JAHSH: Dia adalah putri Bibinya Nabi Muhammad SAW, Umamah binti Abdul Muthalib. Pada awalnya Nabi Muhammad SAW sudah mengatur agar Zaynab mengawini Zayed Ibn Hereathah Al Kalby. Tapi perkawinan ini kandas ndak lama, dan Nabi menerima wahyu bahwa jika mereka bercerai nabi mesti mengawini Zaynab (surat 33:37).

8. JUAYRIYA BINT AL-HARITH: Suami pertamanya adalah Masafeah Ibn Safuan. Nabi Muhammad SAW menghendaki agar kelompok dari Juayreah (Bani Al Mostalaq) masuk Islam. Juayreah menjadi tahanan ketika Islam menang pada perang Al-Mustalaq (Battle of Al-Mustalaq). Bapak Juayreyah datang pada Nabi SAW dan memberikan uang sebagai penebus anaknya, Juayreyah. Nabi SAW pun meminta sang Bapak agar membiarkan Juayreayah untuk memilih. Ketika diberi hak untuk memilih, Juayreyah menyatakan ingin masuk islam dan menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah yang terakhir. Akhirnya Nabi pun mengawininya, dan Bani Almustalaq pun masuk islam.

9. SAFIYYA BINT HUYAYY: Dia adalah dari kelompok Jahudi Bani Nadir. Dia sudah menikah dua kali sebelumnya, dan kemudian menikahi Nabi SAW. Cerita nya cukup menarik, mungkin Insya Allah disampaikan terpisah.

10. UMMU HABIBA BINT SUFYAN: Suami pertamanya adalah Aubed Allah Jahish. Dia adalah anak dari Bibi Rasulullah SAW. Aubed Allah meninggak di Ethiopia. Raja Ethiopia pun mengatur perkawinan dengan Nabi SAW. Dia sebenarnya menikah dengan nabi SAW pada 1 AH, tapi baru pada 7 A.H pindah dan tinggal bersama Nabi SAW di Madina, ketika nabi 60 tahun dan dia 35 tahun.

11. MAYMUNA BINT AL-HARITH: Dia masih berumur 36 tahun ketika menikah dengan Nabi Muhammad SAW yang sudah 60 tahun. Suami pertamanya adalah Abu Rahma Ibn Abed Alzey. Ketika Nabi SAW membuka Makkah di tahun 630 A.D, dia datang menemui Nabi SAW, masuk Islam dan meminta agar Rasullullah mengawininya. Akibatnya, banyaklah orang Makkah merasa terdorong untuk merima Islam dan nabi SAW.


12. MARIA AL-QABTIYYA: Dia awalnya adalah orang yang membantu menangani permasalahan dirumah Rasullullah yang dikirim oleh Raja Mesir. Dia sempat melahirkan seorang anak yang diberi nama Ibrahim. Ibrahim akhirnya meninggal pada umur 18 bulan. Tiga tahun setelah menikah, Nabi SAW meninggal dunia, dan Maria (thx buat Joan) akhirnya meninggal 5 tahun kemudian, tahun 16 A.H. Waktu itu, Umar bin Khatab yang menjadi Iman sholat Jenazahnya, dan kemudian dimakamkan di Al-Baqi.

5 Tokoh Ilmuwan Muslim yang Paling Berpengaruh di Dunia


               Siapa sangka bahwa ilmu pengetahuan yang kita dapatkan dan pelajari saat ini, tak lepas dari peranan para ilmuan yang terus mencari dan menggali ilmu. Hingga didapatkan sebuah teori yang logis dan masuk akal, seperti halnya para ilmuwan muslim dari berbagai belahan dunia seperti Persia, Arab dan Turki yang sukses membuat beberapa penemuan yang luar biasa yang hasilnya bisa kita pelajari dan nikmati saat ini. Para ilmuan saat itu banyak menarik pengaruh dari filsafat Neo-platonis dan Aristoteles termasuk juga Archimedes, Euclid dan masih banyak lagi. Kaum muslim saat itu telah banyak menemukan dan mengembangkan ilmu pengetahuan di bidang kedokteran, bedah, fisika, kimia, filsafat, matematika dan astrologi. Dan berikut adalah 5 tokoh ilmuan muslim yang paling berpengaruh.

1.                   Al-Farabi




Al-Farabi atau Abu Nasir Muhammad bin Al-Farakh Al-Farabi ialah  seorang filsuf dan ilmuwan Islam asal Farab, Kazakhstan. Dikenal dengan nama Abū Nasir al-Fārābi, namun dalam beberapa sumber ensiklopedia dirinya dikenal dengan sebagai Abu Nasr Muhammad Ibn Tarkhan Ibn Uzalah Al-Farabi. Dan dibarat sebagai Alpharabius, Al-Farabi dikenal sebagai pemikir terkemuka pada abad pertengahan yang mana teorinya dikenal dengan : ilmu matematika, ilmu Logika, Ilmu Alam, Teologi, Ilmu Politik dan kenegaraan, Bunga rampai (Kutub Munawwa’ah). Hampir seluruh hidupnya digunakan untuk berkarya dan melahirkan ilmu-ilmu yang brilian pada saat itu. Salah satu teorinya yang paling terkenal ialah Al-Madinah Al-Fadhilah (Kota atau Negara Utama), dimana didalamnya membahas mengenai pencapaian kemasyuran hidup melalui dunia politik dan hubungan antara rejim yang terbaik menurut pemahaman Plato dengan hukum Islam.

2.                   Al-Battani



Al-Batani atau dikenal dengan Albatenius ialah seorang matematikawan dan ahli astronom berkebangsaan Arab. Salah satu teori paling terkenalnya ialah teori mengenai penentuan tahun matahari yakni 365 hari, 5 jam, 46 menit dan 24 detik. Tak sampai disitu Al-Batani juga sebagai seorang ilmuwan penemu persamaan trigonometri Ia juga memecahkan persamaan sin x = a cos x .



3.                   Ibnu Sina




Dikenal pula sebagai Avicenna di Barat yang merupakan seorang ilmuwan, filsuf juga dokter kelahiran di tanah Persia. Di dunia kedokteran beliau dikenal sebagai bapak pengobatan modern, dan karyanya yang paling dikenal ialah Qanun fi Thib  yang berisi tentang rujukan di bidang kedokteran selama berabad-abad. Tak hanya itu, beliau juga merupakan seorang penulis yang produktif yang mana karya-karyanya tersebut didominasi oleh ilmu mengenai kedokteran, dan merupakan seorang pengarang dari 450 buku yang membahas mengenai pokok bahasan besar seputar kedokteran. Dan bukunya yang paling terkenal diataranya adalah The Canon of Medicine dan The Book of Healing.

4.                   Ibnu Battutah



Atau dengan nama asli Abu Abdullah Muhammad bin Batutah adalah seorang penjelajah Beber Maroko. Atas dukungan dari Sultan Maroko, Ibnu Batutah menyiarkan beberapa perjalanan pentingnya kepada seorang sarjana yakni, Ibnu Juzay, yang ia temui saat sedang berada di Iberia. Beliau lahir di Tangier, Maroko sekitar tahun 1304 dan 1307. Diusianya yang ke-20 beliau pergi haji dan ziarah ke Mekah, setelah itu beliau melanjutkan perjalanan spiritualnya hingga melintasi 120.000 km ke sepanjang Negara muslim sekitar 44 negara modern.




5.                   Tsabit bin Qurrah


Lahir dengan nama Abu'l Hasan Tsabit bin Qurra' bin Marwan al-Sabi al-Harrani di kota Harran, Turki sekitar tahun 826 sampai dengan 18 Februari 901. Adalah seorang matematikawan dan Astronom asal Arab, menempuh pendidikan di Baghdad tepatnya di Baitul Hikmah, kemampuannya dalam bidang ilmu pengetahuan sudah Nampak sejak usia remaja. Tsabit mampu menerjemahkan buku Euclid yang berjudul Elements dan buku Ptolemy yang berjudul Geograpia. Teorinya yang terkenal adalah teori aljabar, astronomi dan geometri. Di bidang astronomi Tsabit di sebut sebagai salah satu reformis pertama dari system Ptolemaic sedangkan dalam mekanika beliau adalah seorang pendiri statiska.

Jumat, 05 September 2014

KAWAN TERKASIHKU - STASHA

Rembulan malam hiasi langit pencakar
Tak terbatas dalam ruang dan waktu
Menelungkupi tiap pasrah diri
Dalam jeratan asa tak pasti

Kau. Kau Rembulan
Bercahaya dalam gelap malam
Sinari kalbu tak berakhir
Kau. Kau Rembulan
Menyeringai hari dari kesedihan
Menyiratkan senyum melengkung tulus

Kawan...
1 tahun seakan telah bersemi
Menggugugurkan kenangan-kenangan saat bersama
Pelukanmu, pelukan erat mu
Seolah jadi fatamorgana hari kemarin

Kawan...
Ingatkah, ketika canda tawamu memecahkan keheningan suasana
Ingatkah, ketika kedatanganmu jadi hal yang paling ditunggu
Ingatkah, ketika rupa berserimu jadi penyemangat hari-hari bersama
Jika kau tak ingat, Ingatlah kami selalu ingat


Kawan...
Bulir netra kan jadi saksi
Penyeruak bisu tak bergeming
Inginnya kami berteriak
‘Jangan tinggalkan kami’

Namun, kami takkan salahi takdir
Kami yakin, diantara air mata ini
Tersimpan jalinan hati tak bertepi
Tak berbatas

Demi Allah...
Kami menyayangimu
Kami mencintaimu
Karena Allah, Sang Pemilik Semesta

UHIBBUKI FILLAH STASHA :’)

Janji ya, takkan ada kata ‘putus’ diantara kita ?

DIBALIK SEBUAH KEPERCAYAAN

            Mobil warna biru bertuliskan taksi melayang dalam naungan jalanan gelap metropolitan, hanya ada sedikit cahaya lewat warni-warni sorot lampu malam dan kunang-kunang yang beriringan terbang serta cahaya lampu mobil depan taksi tua itu yang tersisa dalam penghujung malam. Ada lelaki berperawakan besar disana. Lelaki yang putus harap akan penumpangnya hari itu. Selang beberapa waktu, mobil yang dikendarainya diam, berhenti dalam gerak malam itu. Terucap sepenggal kata dari bibir sang supir taksi itu.
“Hidup itu berputar, aku yakin kuasa Tuhan”
            Marni, si wanita desa yang cukup cantik itu kini menetap hanya dengan buah hatinya yang masih belia sekali, baru 2 bulan umur hidupnya. Juga bersama wanita renta yang dulu pernah menimangnya, menggendongnya dan memeluk serta mengecupnya dengan ketulusan. Dialah Sang ibu yang sangat ia cintai, sudah tak ada lagi lemak yang tersisa, hanya kulit keriput yang lekat di tubuh yang sudah merontanya itu. Diingatnya kembali dulu, saat semuanya masih sempurna.
            “Mas...Sarapan dulu ya.” Kata Marni pada seseorang yang duduk di ubin hitam rumah ibunya itu.
            “Iya dik, hari ini kita makan apa?”
            “Seperti hari kemarin, kemarin, kemarin dan kemarin juga kemarinnya lagi.” Jawab Marni dengan senyum yang kurang lebar, terlihat suatu senyum paksaan.
            Dilahapnya singkong yang setiap hari jadi bahan makannya di rumah tua itu. Kekurangan dan kesederhanaan menjelma kehidupan mereka dalam harapan kebahagiaan yang terkubur dalam lewat keadaan. Marni menyesali apa yang telah dia putuskan.
            “Bolehkah aku meminangmu wahai wanitaku?” ucap rayunya diantara taman bunga di tengah desa yang bertebaran hijau hijau warnanya.
            Marni hanya terdiam dalam lautan rayu yang tak berujung, dia seakan dibuat bisu akan cinta yang terucap mesra 4 tahun lalu. Saat-saat indah yang hanya mutlak ada satu tahun dalam hidupnya itu. Diamnya Marni diartikan sang lelaki sebagai kata penyetujuan dalam penawarannya itu. Jadilah sang lelaki meminang Marni dengan modal nekad dan tanpa sebarang pun barang untuk saksi pernikahannya ataupun uang yang bertele-tele dalam nominal, atau modal tempat tinggal yang telah dibuatnya, tidak ada satu pun diantara itu yang memenuhi haknya untuk meminang keluarga Marni yang mulanya berkehidupan lebih baik daripada seusai pernikahannya.
            “Mas janji akan belikan cincin pernikahan untuk kita” Ucap lelaki itu saat minggu minggu pertama pernikahannya tiba.
            “Kapan mas?” Tanya Marni yang masih diliputi rasa bahagia dalam meunggu kepastian yang seolah-olah hanya mimpi.
            “Suatu saat nanti Marni”
            Itulah kata-kata yang selalu terbersit menjadi simbol kebahagiaan Marni dalam kepastian yang ditunggu, hanya reka-reka fantasi dalam naungan, pikir Marni. Ayahnya kepala Desa Karanganyar begitu berat menyetujui pinangan sang penganggur desa yang dikenal jadi penganggur yang paling menganggur di desa itu.
            “Malang nian nasibmu nak!” ketus Ayah Marni yang ditumbuhi ketidaksukaan pada sang lelaki.
            “Bukan karena dia malas ayah, dia menganggur karena belum mendapatkan pekerjaan layak” Jawab Marni dalam kesantunan nya pada ayahnya itu.
            “Parasmu, lakumu dapat mempertemukanmu kepada lelaki yang lebih pantas dari lelaki tak karuan itu! Bisa bobrok kedudukanku di desa ini” kata sang ayah lagi tak kalah ketusnya pada Marni.
            Marni hanya menatap hari dalam kesenduan, lalu diajaknya oleh sang lelaki untuk nikah diam-diam ke kampung sebelah.
            “Namun ibu harus ikut, aku tak mampu untuk meninggalkannya sendiri mas” Marni berkeluh pada calon pasangan hidupnya.
            “Iya, silahkan Marni, bawa ibumu bersama kita, semoga ibu bisa membantu kita merawat buah hati kita kelak” Sang lelaki menutup pembicaraan dengan si gadis jelita yang akan segera dipinangnya diam-diam itu.
            Satu tahun pernikahannya berlalu, Marni dan lelaki itu dikaruniai buah hati yang eloknya mirip sekali dengan sang lelaki, bentuk wajahnya, matanya yang bersinar, bibir yang tipis, kulit kekuningan dan badan yang bisa dibilang berisi. Namanya Genta.
            Tempat tinggal Marni, suaminya, Genta dan sang ibu menjadi pelindung baru dari hari panas yang menyergap, dari kedinginan malam yang menyepi. Tepatnya berada di ujung selatan Desa Antarjadi, dekat jembatan kertosuro yang menghubungkannya dengan kota, ah sebenarnya tidak dekat, terlampau sekitar 20 kilometer lebih menuju kesana.
            Sang lelaki setiap kali seakan bersalah atas kehidupan Marni yang tak berubah selama menjadi istrinya, malah berkehidupan lebih buruk dari sebelumnya. Sang lelaki selalu menangis dalam gelap malam, saat semua orang rumah telah pulas dalam bunga tidur malam yang mereka-reka kejadian fiksi. Sang lelaki makin terpuruk akan ke frustasiannya. Di tengah malam itu sang lelaki memikirkan hal di luar batas pemikirannya sebelumnya, ia memikirkan hal yang kemungkinan akan membuat anak, istri atau mertunya dapat sedih namun dapat pula bahagia jika kenyataan baiknya dapat terwujud secara pasti. Sang lelaki membatu dalam keheningan malam, dalam kesunyian lorong-lorong di bawah langit malam, malam itu hanya dirinya dan pemikirannya yang menyisakan sebuah  tanda tanya, apa itu harus dilakukannya, apa dia takkan menyesal nantinya.
            “Toh, jika aku berhasil, mereka pun akan ikut bahagia” pikirnya mengakhiri perdebatan batin diantaranya dan keheningan suasana gelap itu.
            Fajar menyingsingkan hari indahnya, pagi itu embun embun berkeliaran ke semua penjuru desa Antarjadi.  Ke sebelah selatan, Di Desa Karanganyar terlihat sosok bapak tua yang telah rapuh kepemimpinannya di sana, dia jadi tak waras, kesana kemari mencari anak, istri nya yang hilang.
            Marni selagi itu sedang memberi upah susu kepada Genta sehabis menangis, kini tangisan Genta lebih keras daripada biasanya, seperti tersirat suatu makna terdalam yang ingin disampaikan pada ibunya yang kini berada tepat di depan pandangannya yang sudah tak kabur lagi, umur hidup Genta mencapai 1 tahun sudah.
            “Nak, kenapa nak..cupcupcup” Ucap Marni lembut pada Genta agar lebih tenang.
            Namun Genta malah menantang dengan semakin menangis tersedu lebih keras lagi dari sebelumnya, ibarat petir yang menyambar siang bolong, tiba-tiba seperti ada sesuatu yang janggal.
            “Mas..Mas..Mas....” Dipanggilnya sang lelaki agar datang kepadanya dan Genta yang masih rewel saat itu.
            Hening. Tak ada jawaban. Hanya sesosok wanita tua yang menghampirinya dengan gelagat kepanikan yang cukup membuat orang yang melihatnya dapat sama-sama panik.
            “Uu...cucu nenek, sini sini..” dipangkunya sang cucu dengan ketulusan luar biasa, tak ada mata melotot untuk mendiamkan Genta, hanya secarik simpul senyum nenek Retno yang bisa membuatnya sedikit lebih tenang.
            Marni yang menjadi lebih baik setelah melihat ibunya bisa mendiamkan Genta, segera meninggalkan Genta dan sang ibu, menuju ruangan demi ruangan di rumah itu yang tak terpaut jauh, hanya sekitar 1 meter. Dicarinya sang lelaki yang ia panggil “Mas..” tadi. Paniknya memuncak lagi ketika tak menemukan apa yang dicarinya itu, hanya secarik kertas di atas ranjang kamar 4x4 m yang mampu membuka sinar penerang menuju hal yang sedari tadi dicarinya.
            Sejurus kemudian, hanya pasrah dan kekuatan yang bisa dilakukan Marni, seakan tak pernah ada lagi gairah tuk menjalani hidup setelah sekian lama Marni menunggu, sekian lama Marni menjalani hidup diantara sisa sisa kekuatan yang diberi dari secarik kertas yang isinya bertuliskan tinta hitam. Hanya kekuatan do’a yang bisa ia sampaikan pada sang lelaki yang tak bersama dengannya lagi, Genta ataupun Ibu. Iya, si lelaki meninggalkan rumah.
            Dalam pikiran Marni, hanya terbersit ingatan isi surat itu, ada kata-kata perpisahan dalam penyiratannya ‘Marni, jaga baik-baik Genta dan ibu ya. Mas mau mengadu nasib di seberang jembatan Kertosuro, kota metropolitan yang katanya keras, doakan mas. -Salam terkasih-“
            Dua tahun telah berlalu, Marni masih kuat dalam doa yang dipanjatkan untuk suami terkasih di sana, Genta pun tumbuh dan berkembang menginjak usia 2 tahun. Nenek Retno semakin menghela nafas akan keputusan menantunya yang kurang tepat, kenapa dia tidak membicarakan dulu bersamanya. Dirinya menyayangkan hal itu. Tersungkur lah dirinya dalam banyak pikiran yang menimpanya, hanya iringan tasbih yang menemani hari-hari akhir yang mungkin akan bertemunya sebentar lagi.
            Marni masih kuat dalam genggaman secarik kertas di tahun ketiga sepeninggal sang lelaki, Genta kini telah bisa mengucap kata ‘mama’ ataupun ‘ayah’ walaupun di setiap kata ‘ayah’ dia seakan menyisakan tanda tanya “siapa ayah?” namun Genta masih kecil, tidak bisa mengungkapkan keingintahuannya itu.
            Tibalah tahun keempat, dimana sang lelaki tak ada kabar. Hari itu Hati Marni jadi tak karuan ketika diberitakan Joni si pemuda yang melanglang ke kota dan baru pulang perihal sang suami yang katanya sempat ia temui.
            “Marni, Suamimu sudah lancang main api!” Dengan lantangnya Joni melancarkan misinya.
            “Apa maksudmu?” tanya Marni diliputi keheranan dan tanda tanya.
            “Aku tahu dia sudah beristri lagi, bahkan sudah punya anak”
            Seperti dihantam bom raksasa, hati Marni seakan rapuh, patah, menangis diantara puing-puing kekuatannya dalam menunggu sang lelaki, rasa geram menyelimuti jiwanya yang sudah banyak diadu rasa marah, kesal dan lelah. Teriaknya seakan dibisukan, hanya air mata yang mengalir di mata indah Marni yang mampu merasakan apa yang Marni rasakan saat itu. Bongkahan cinta Marni seakan pupus dilahap rasa kecemburuannya pada si wanita yang telah diperistri lelakinya di kota.
            “Kurang setia apa aku, menunggunya 4 tahun, lalu itu yang dihadiahkannya untukku?! akan ku cari dia!Akan kuancam dia agar menceraikan aku jika dia tak menceraikan si wanita murahan itu!”
            “Atau akan aku ancam jika dia tak menceraikan wanita itu, aku akan bunuh diri.”
            Segala resah yang melanda hati Marni diungkapnya lewat kata-kata hati itu, tak ada yang bisa melebihi kesetiaan seorang wanita selain rasa tulus. Marni mencintai tulus sang lelaki, namun apa timbal baliknya, apa sang lelaki sudah tak peduli akan adanya Marni?Padahal sang lelaki yang begitu menggebu menikahi Marni sampai-sampai meninggalkan Ayah Marni yang tak setuju akan pernikahan mereka.
            Harap-harap baik Marni pada sang lelaki terus berjalan ke arah kecemasan yang semakin mendera, diputuskannya untuk pergi ke kota lewat Jembatan Kertosuro, Marni sudah seakan tak waras, mengambil keputusan bukan dipikir dulu. Cepat-cepat Marni mengemas baju secukupnya dan mengambil tabungan kecil uang hasil jadi buruh cuci nya selama 4 tahun ini.
            Anak lelaki bermata mirip sang lelaki yang sedang ingin ditemuinya hanya menatap sendu sang ibu, Marni membalas tatapan Genta dengan rasa iba.
            “Sebenarnya ibu tak ingin meninggalkanmu Genta, namun apa daya, ayahmu sudah kelewatan” ucap Marni sambil mengelus kepala Genta yang baru ditumbuhi rambut-rambut halus.
            Jeritan keras Genta tak terbendung dari arah rumah kontrakan di Desa Antarjadi itu. Sang ibu hanya mengangguk sedih untuk melepas Marni yang mau berjuang ke kota, mencari sang lelaki yang dibilang Joni sudah main api.
            Jembatan Kertosuro sepanjang 20 km ditempuh Marni dengan harap-harap besar, ingin bertemu sang lelaki di kota, saat bertemu ingin langsung Marni mengancamnya dan setelah itu jika ancamannya tak dipedulika, Marni akan pulang dalam naungan kesedihan. Mungkin itu lebih baik ketimbang harus terus menunggu di desa, walaupun sakit namun setidaknya dapat membalas kecemburuannya, pikir Marni.
            Setibanya di kota, Marni tak tahu arah, hanya foto sang lelaki yang membawanya berani pergi ke kota untuk mencari sang lelaki. Di pikiran Marni, Jakarta itu ibarat desa lamanya, Karanganyar atau desa Antarjadi yang terpaut dekat jika disamakan dengan sungai, ibarat hulu dan hilir yang tak jauh jaraknya. Namun, Jakarta ternyata luas, besar, dipenuhi gedung-gedung tinggi. Maklum Marni setelah menikah dengan sang lelaki hanya jadi buruh cuci desa yang tidak memahami teknologi, untuk memenuhi hidup saja sudah susah apalagi punya barang-barang mewah.
            Tangisan Genta saat kepergiannya mengingatkan kembali pada rumah kontrakannya di desa Antarjadi, pikirannya berkecamuk antara harus kembali atau tetap mencari lelaki itu, lelaki tak bertanggung jawab yang tak ada kabar 4 tahun ini selama di metropolitan, tak ada jejak-jejak lelaki itu ditemukan Marni. Seketika pikiran Marni terfokus pada satu hal dimana perkataan Joni yang belum tentu benar.
            “Kok bisa aku percaya kata-kata si Joni itu. Belum tentu dia benar, bisa jadi dia mau membalas apa yang kami lakukan padanya dengan mengadu domba kami, dia kan masih dendam pada keluargaku yang menyeretnya ke kantor polisi karena ketangkap basah mencuri”
            Baru teringat hal itu ketika genap 30 hari dia di kota, tak ada jejak sama sekali yang bisa Marni dapati, pulanglah Marni ke Desa Antarjadi yang setelahnya berperawakan lebih kurus, wajahnya lebih tirus daripada sebelumnya, bibirnya pucat pasi dan tak terlihat adanya gairah hidup. Metropolitan yang buatnya begitu, ah bukan sang lelaki tepatnya. Sesampainya kembali di rumah kontrakannya, bola mata Marni tertuju pada lelaki yang sedang duduk di kursi tua rumahnya, sang lelaki memandang Marni dari ujung kaki sampai ujung kepala, sejurus kemudian lelaki itu memeluk Marni erat yang jauh berbeda daripada 5 tahun lalu, namun kesucian cinta tak dapat memburamkan sejatinya cinta, setelahnya dicium kening Marni seraya bersimpuh di hadapan kakinya.
            “Marni...”
            “Maafkan Mas.”
            Marni terdiam seribu bahasa, mengangkat tubuh Lelaki itu untuk bisa sama rata, dengan sama-sama berdiri.
            “Kamu kemana saja 4 tahun ini mas?” tanya ketus Marni tanpa menatap wajah suaminya itu secara langsung.
            “Ini untukmu” diselipkannya cincin berlian ke jari  manis tangan kanan Marni.
            “Apa ini?” tanya Marni melongo tanda heran.
            “Ini janjiku dulu, aku baru bisa menyanggupi sekarang”
            “Darimana ini?selama ini kamu mencuri mas?” lagi lagi tanya Marni.
            “Aku berjuang di kota Marni”
            “Bohong, kamu tlah khianati aku mas!” seru Marni pada lelaki itu, teringatnya pada kata-kata Joni, si pemuda yang melanglang ke kota.
            “Itu bohong, 4 tahun ini aku berjuang di kota. Mulanya aku jadi supir taksi, namun..”
            “Namun.. Tuhan berkehendak lain, di tahun ketiga Mas bekerja, sang pemilik taksi-taksi itu meninggal dan memberi wasiat yang berisikan segala harta dalam bentuk taksi-taksi nya menjadi milikku. Begitu Marni. Di tahun keempat Mas bekerja, Mas menjalani usaha itu dengan bersemangat, syukur, lagi-lagi kuasa Tuhan, sekarang mas sudah punya rumah di kota Marni” jelas lelaki itu pada Marni.
            “Mas..Mas Paijo, selama ini aku kira kau bermain wanita lain di sana, aku kira kau melupakanku dan Genta. Joni, joni yang berkata” lirih Marni pada suaminya.
            “Joni?Joni sudah meninggal seminggu lalu di kota, dia sudah meninggal, jadi korban tabrak lari di kota, mata kepalaku saksinya.” Beritahu suaminya, Mas Paijo pada Marni.
            “Inalillahi Wa Inailahi Rojiun...Aku tak percaya, bahkan dia masih bisa mengadu domba kita dulu, dia masih dendam terhadap masalah pencurian itu” Marni bereaksi kaget akan pernyataan suaminya itu.
            “Ya sudah..Semoga dia diberi tempat terbaik di sana, Aamiin. Marni, ibu, Genta mari kita buat kehidupan baru di kota?” Ajak Paijo dengan muka sumringah.
            Genta senyam senyum layaknya bayi yang diberi upah susu, Nenek Retno pun ikut-ikutan terseyum pertanda setuju namun Marni berbeda rupanya.
            “Lalu bagaimana dengan ayah? Marni tak tega biarkan nisan ayah sendiri, Ayah sudah meninggal mas..” haru tangis Marni tersusut di pelukan Paijo.
            Pelukan hangat itu membawa pada ketentraman hati Marni seperti sediakala, senja hari tampakan lembayungnya, membawa keluarga kecil itu kembali ke Desa yang pernah jadi tempat hidupnya, Desa Karanganyar, disana nisan bertuliskan ‘Abdul Binti Sumah’ diguyur air dan kembang-kembang wewangian oleh keluarga kecil itu. Setelah permintaan maaf dan doa terpanjatkan di depan nisan, mereka menuju ke arah mobil warna biru bertuliskan ‘taksi’, hari sudah menampakkan warna kelamnya, di dalam mobil bertuliskan taksi itu. Genta bertepuk tepuk riang melihat pemandangan di luar jendela malam, Nenek Retno tak kalah gembira karena sudah tenang tak ada kata ‘nanti’ lagi untuk berziarah ke makam suaminya. Sedang sang dua hati yang telah menyatu kembali, Paijo dan Marni menikmati malam itu dengan bercengkrama dalam lautan kebahagiaan yang telah tereka di depan mata.
            Mempercayai hal yang tidak mungkin adalah sebuah titik balik seseorang dapat tergerak jiwa dan semangatnya mengubah kepercayaan itu menjadi sesuatu yang mungkin.
“Hidup itu berputar, aku yakin kuasa Tuhan”


Sabtu, 16 Agustus 2014

SEPARUH YANG HILANG



Sudah kiranya lama saat dimana jasad bunda pergi dari hadapanku. Sudah kiranya lama pula aku rindu akan segala yang aku rindukan tentang dirinya, dengan sayangnya yang membelai setiap saat, cintanya yang menggebu, juangnya hadapi hidup bersama dan senyum nya yang paling kurindukan, senyum tulusnya.
            Semenjak ia hilang, seakan hilang pula separuh jiwaku, kini setengah jiwaku hilang, remuk, mati bak seakan patah bersisa setengah. Menunggu belas kasih dari ibunda yang lain yang siap menggantikan bunda yang baru dua minggu pergi itu. Namun tiada hal yang paling bodoh sampai bisa aku memikirkan hal itu, padahal umurku sudah akan genap mencapai kepala 3.
            Aku hanya mengenal dia selama aku hidup, satu sosok perempuan yang begitu mencintaiku, tiada yang lain. Kau tanya simpanan?apa lagi, hanya akal busuk ku yang mungkin memikirkan perkara bodoh itu. Membuang dan menyia-nyiakan waktu tepatnya. Benar, aku hanya punya 1 perempuan, hanya ibu yang mencintaiku, dan aku pun mencintainya. Dan kini Tuhan ambil dia.
            Kau tahu ketika senja tiba?
            Kau tahu tepat waktunya tiba?
            Dimana waktu itu yang paling berat untuk ditinggalkan
            Dimana aku berdiri dalam terpaan angin sore
            Dingin!
            Mencekam diri.
            Bulir peluh, penyesalan, kekecewaan terus mengalir dari simfoni hati, baru kali ini aku melihat lelaki berusia genap 30 tahun mengeluarkan air mata tak henti, manja bodoh tidak karuan aku definisikan. Namun pada kenyataannya yang aku lihat itu adalah diriku, ya diriku sendiri. Lewat kaca yang memantulkan perwatakan dan rupa juga badan yang berproporsi sama, jenggot dan kumis yang sudah bisa dibilangnya meradang dan memang itulah aku. Lelaki dewasa yang kini kekanak-kanakan, menangis manja seperti ingin diberi upah.
            Turut berduka cita Pak. Semoga amal ibadah ibunda diterima di sisi terbaik Tuhan.
            Saya ikut belasungkawa ya Pak.
            Saya ga percaya ibunda Bapak akan pergi secepat ini, semoga bapak diberi kekuatan. Aamiin.
            Dan pesan diterima lain-
            Empati yang memenuhi kontak pesan telepon genggamku, terus bermunculan. Seperti halnya jati menggugurkan daunnya untuk menyesuaikan diri. Wajar sekali keadaan itu aku rasakan, orang yang ditinggalkan harta satu-satunya hidup. Ibu satu-satu nya hidupku, segala tentangnya akan bersemayam terus bukan sekarang saja tapi esok, hari setelah hari esok, dua hari setelah hari esok dan selamanya.
            Mencekam diri!
            Berjalan dalam nuansa keheningan...
            Tenggelamlah dalam suasana yang cukup disadari
            Pergi lah panjangnya hari siang
            Tiba lah sore dan malam yang penuh kesuntukan!
            “Assalamualaikum.” Suara wanita dari balik pintu menghilangkan tetes-tetes air mata yang tak bisa aku hentikan, walau nyatanya masih terlihat sembab, namun setidaknya aku tidak mau dibilang ‘lelaki dewasa cengeng’.
            “Waalaikumsalam.” Jawab ku menuju pintu, membalas salam nya dengan masih terbayangkan wajah dan kasih ibundaku.
            “Mas Robi, aku turut berduka, aku tidak menyangka hal ini begitu cepat terjadi.” Kata wanita itu dengan nada suara penuh keharuan padaku.
            “Aku sudah menganggap ibu, sebagai ibuku sendiri. Ia orang baik dan pastinya akan masuk syurga kekal Nya.” Lanjut omongannya lagi sambil memeluk ku dengan keharuan mendalam.
            “Iya Zainab, aku menyesal!” seru ku lalu melepaskan pelukannya dan kembali masuk ke dalam rumah sambil menggebruk pintu.
            Zainab masih terpekur di depan pintu, dalam lamunannya ia mengingat kembali ucapan bunda lelaki itu “Zainab, kau adalah wanita baik, oleh karena itu kau pantas mendapatkan anaku, dia juga lelaki baik. Insya Allah. Cintai dia, jaga dia lalu jadikan dia imam yang dapat diteladani anak-anakmu kelak” perkataan itu masih mendengung tajam di balik telinga Zainab.
            Ia pun kembali ke rumah nya yang bisa disebut gedong dan menjentawahkan segala rasa yang dialaminya, menangis akan pengharapan pongah hati nya yang sepertinya tak terbalaskan.
            Cintaku akan kujadikan seperti layaknya kuku, kalau digunting akan hilang. Sama hal nya seperti rasa ini yang tak terbalaskan, akan hilang. Namun dalam waktu dekat mungkin akan tumbuh lagi. Dan aku akan memanjangkannya dengan segala kesabaran yang ku punya, jika suatu hari dia masih tak membalas cintaku, itu artinya aku akan menggunting lagi kuku ku, lalu akan tumbuh lagi dan akan begitu seterusnya. Sampai aku mendapat imam terbaik dari takdir Tuhan padaku.
            Catatannya mengakhiri cerita cinta Zainab.
            “Jika ada alat yang mampu mengulang waktu, aku ingin membeli alat itu!” keras tekad sang lelaki berkata.
            “Semahal apapun harganya, asal bunda menemani hari-hari ku lagi...”
            Mengucur lagi air mata sang lelaki, berharap dan bermimpi layaknya orang kurang waras kini. Tak ada yang mampu membalaskan cinta ibu, selain mengulang kembali waktu dan melakukan hal sebaik mungkin padanya.
            Tiba lah sore dan malam yang penuh kesuntukan!
            Dimana malam itu seperti perapian kegelapan yang panjang.
            Sunyi
            Hening
            Pohon-pohon berdiri kaku
            Gedung-gedung tinggi perkotaan tidak jelas terlihat
            Keduniawaian seakan tak terpikirkan orang-orang kala itu
            Hanya harap-harap sinar bintang mengawasi malam panjang yang mati
            Hati sang lelaki kini bukan seperti dulu, air mata sang lelaki pun bukan seperti dulu, keadaan sang lelaki kini pun bukan seperti dulu.
            Dulu...baja bisa diibaratkan hati sang lelaki, seberat apapun hati terbentur takkan sampai hatinya bersedih seperti ini, namun payahlah kini dan bisa disebut seperti kertas.            
            Dulu...besi bisa diibaratkan air mata sang lelaki, sesering apapun hal buruk menimpa dirinya takkan ada air mata, namun manjalah kini air mata tak pantas itu dan bisa disebut bayi.
            Dulu...tiang bisa diibaratkan keadaannya, sekeras apapun tiang ditabrak takkan roboh, namun berbedalah kini, seperti diserang batu 100 kali kepalan tangan  dan akhirnya robohlah tiang itu. Dan keadaan sekarang ini bisa disebut air sungai. Yang pasrah mau dibawa kemana saja oleh arus yang begitu hebat berjalan.
            Takkan ada ruang hati untuk siapapun wanita yang mencintaiku kini. Ibu hanya ibu yang mengisi setengah jiwa yang tersisa.
            Betapa bodohnya aku ketika tepatnya hari lahir ibu tiba, setiap 10 Januari. Aku masih berkutat dengan pekerjaan kantorku yang menumpuk dan tak menyisakan celah-celah kejutan hari spesial ibu.Padahal ibu selalu memeriahkan hari ulang tahunku semasa kanak-kanak dengan semacam pesta. Apa balasanku.
            Betapa pandirnya aku ketika suruhannya untuk sarapan pagi sebelum berangkat kerja kuacuhkan begitu saja. Kepedulianku terhadap kesehatan ibu pun tak ada. Padahal ibu selalu masuk ke kamarku tiap pagi untuk membangunkan aku semasa sekolah dan masuk lagi ke kamarku setiap malam untuk menina bobokan aku. Apa balasanku.
            Betapa tidak warasanya aku ketika satu waktu dimana itu hari aku merayakan hubungan tahunanku dengan seorang perempuan cantik pujaanku di suatu cafe. Ketika itu pula ibu sedang sakit-sakitan dan menelponku untuk segera pulang dan membelikan obat untuk ibu, tapi aku malah mematikan handponeku dan mengatakan kepada pujaanku “Cuma nomor salah sambung”.
            Betapa, betapa, betapa tak tahu dirinya aku ketika hari itu, aku selesai masa kuliah dan jadi sarjana. Saat pemberian toga, ibu yang  sedang sakit-sakitan masih rela datang dia acara bahagiaku dan langsung memelukku di tengah-tengah keriuhan teman-temanku lain yang sama halnya bahagia, namun aku malah mendorongnya dan mengatakan “SIAPA KAMU? AKU TIDAK PUNYA IBU SEPERTIMU”
            Hujatlah aku, ejeklah aku, cacilah aku, bahkan bunuhlah aku jikalau itu semua bisa membuat keadaan yang telah lewat dimana aku bisa merubah kedurhakaanku padanya menjadi hormat dan meyayangi dirinya. Namun bisakah?
            Hanya harap-harap sinar bintang mengawasi malam panjang yang mati.
            Tak bersua remang-remang cahaya bintang
            Tak terlihat sinar benderang cahaya bulan
            Tak jua terasa indahnya kunang-kunang
            Hanya kegetiran malam yang tersisa
            Semua mengutukku dalam kegelapan
            Hujan pun menambah kutukanku malam itu.
            Bahkan...bisakah kamu menyebutku orang yang lebih baik dari pada kata ‘bodoh’, ‘pandir’, ‘tidak waras’,’tak tahu diri’ ketika kamu mengetahui sebab wafatnya ibu. Ketika itu masih pagi aku pergi dengan baju bersih, namun di perjalanan ketika aku telah dekat menuju kantor, ada mobil yang menderu kencang berkendara, akhirnya baju kantorku basah dan kotor karena keciparatan air kotor di genangan oleh mobil itu. Mendenguslah aku dan pulang, disana terlihat ibu yang sedang membaringkan kerontaannya di kamar tua nya.
            “Cucikan baju ini, sepulang nanti aku ingin sudah kering”
            Dengan sisa daya kekuatan, ibu mencuci baju ku dengan tangannya yang sudah keriput, binar-binar harap siang panas tenyata meleset, siang itu hujan. Lebat, malah lebih lebat dari hujan biasanya. Akhirnya baju kotor ynag telah dicuci itu pun tak kering.
            Ketika aku pulang dan melihat baju itu dalam keadaan basah, emosiku naik dan membawa ibu yang telah pucat pasi wajahnya ke luar, malam  gelap dan hujan, disana aku suruh ibu merasakan dinginnya jika air menyelungkupi tubuhnya. Tujuannya agar dia tahu bagaimana rasanya jika baju basah yang dicucinya dikenakan aku dalam keadaan basah. Dingin bukan!
            5 menit badannya terlihat kedinginan.
            10 menit badannya sudah terlihat menggigil hebat.
            15 menit...Tersungkur lah ia.
            Hujan jadi saksi berhentinya denyut nadi ibu atas dasar kedurhakaanku.
           
            Hujan pun menambah kutukanku malam itu.
            Namun beberapa saat kemudian
            Binar-binar aura cahaya muncul untuk menerangi malam gelap itu
            Cahayanya berdiaroma ke wujud seseorang
            ITU IBU
            Aku menangis tak karuan
            Melelehkan bajanya hatiku
            Merasakan cinta haqiqi ibu di gelap itu
            Ku sentuh cahaya itu
            Namun aku tak mendapatkannya
            Ku peluk sosok itu
            Namun aku tak mendapatkannya
            Ternyata isi sajak ini hanya khayalku
            Ibu...
            Maafkan anakmu yang hina ini
            Meski kau telah pergi
            Khayalku yang penuh gelap
            Kau masih datang menemaniku dengan sentuhan cahaya
            Di saat semua mengutukku
            Kau masih menemaniku
            Ibu...
            Sekali lagi maafkan anakmu ini yang telah durhaka.