Jumat, 05 September 2014

DIBALIK SEBUAH KEPERCAYAAN

            Mobil warna biru bertuliskan taksi melayang dalam naungan jalanan gelap metropolitan, hanya ada sedikit cahaya lewat warni-warni sorot lampu malam dan kunang-kunang yang beriringan terbang serta cahaya lampu mobil depan taksi tua itu yang tersisa dalam penghujung malam. Ada lelaki berperawakan besar disana. Lelaki yang putus harap akan penumpangnya hari itu. Selang beberapa waktu, mobil yang dikendarainya diam, berhenti dalam gerak malam itu. Terucap sepenggal kata dari bibir sang supir taksi itu.
“Hidup itu berputar, aku yakin kuasa Tuhan”
            Marni, si wanita desa yang cukup cantik itu kini menetap hanya dengan buah hatinya yang masih belia sekali, baru 2 bulan umur hidupnya. Juga bersama wanita renta yang dulu pernah menimangnya, menggendongnya dan memeluk serta mengecupnya dengan ketulusan. Dialah Sang ibu yang sangat ia cintai, sudah tak ada lagi lemak yang tersisa, hanya kulit keriput yang lekat di tubuh yang sudah merontanya itu. Diingatnya kembali dulu, saat semuanya masih sempurna.
            “Mas...Sarapan dulu ya.” Kata Marni pada seseorang yang duduk di ubin hitam rumah ibunya itu.
            “Iya dik, hari ini kita makan apa?”
            “Seperti hari kemarin, kemarin, kemarin dan kemarin juga kemarinnya lagi.” Jawab Marni dengan senyum yang kurang lebar, terlihat suatu senyum paksaan.
            Dilahapnya singkong yang setiap hari jadi bahan makannya di rumah tua itu. Kekurangan dan kesederhanaan menjelma kehidupan mereka dalam harapan kebahagiaan yang terkubur dalam lewat keadaan. Marni menyesali apa yang telah dia putuskan.
            “Bolehkah aku meminangmu wahai wanitaku?” ucap rayunya diantara taman bunga di tengah desa yang bertebaran hijau hijau warnanya.
            Marni hanya terdiam dalam lautan rayu yang tak berujung, dia seakan dibuat bisu akan cinta yang terucap mesra 4 tahun lalu. Saat-saat indah yang hanya mutlak ada satu tahun dalam hidupnya itu. Diamnya Marni diartikan sang lelaki sebagai kata penyetujuan dalam penawarannya itu. Jadilah sang lelaki meminang Marni dengan modal nekad dan tanpa sebarang pun barang untuk saksi pernikahannya ataupun uang yang bertele-tele dalam nominal, atau modal tempat tinggal yang telah dibuatnya, tidak ada satu pun diantara itu yang memenuhi haknya untuk meminang keluarga Marni yang mulanya berkehidupan lebih baik daripada seusai pernikahannya.
            “Mas janji akan belikan cincin pernikahan untuk kita” Ucap lelaki itu saat minggu minggu pertama pernikahannya tiba.
            “Kapan mas?” Tanya Marni yang masih diliputi rasa bahagia dalam meunggu kepastian yang seolah-olah hanya mimpi.
            “Suatu saat nanti Marni”
            Itulah kata-kata yang selalu terbersit menjadi simbol kebahagiaan Marni dalam kepastian yang ditunggu, hanya reka-reka fantasi dalam naungan, pikir Marni. Ayahnya kepala Desa Karanganyar begitu berat menyetujui pinangan sang penganggur desa yang dikenal jadi penganggur yang paling menganggur di desa itu.
            “Malang nian nasibmu nak!” ketus Ayah Marni yang ditumbuhi ketidaksukaan pada sang lelaki.
            “Bukan karena dia malas ayah, dia menganggur karena belum mendapatkan pekerjaan layak” Jawab Marni dalam kesantunan nya pada ayahnya itu.
            “Parasmu, lakumu dapat mempertemukanmu kepada lelaki yang lebih pantas dari lelaki tak karuan itu! Bisa bobrok kedudukanku di desa ini” kata sang ayah lagi tak kalah ketusnya pada Marni.
            Marni hanya menatap hari dalam kesenduan, lalu diajaknya oleh sang lelaki untuk nikah diam-diam ke kampung sebelah.
            “Namun ibu harus ikut, aku tak mampu untuk meninggalkannya sendiri mas” Marni berkeluh pada calon pasangan hidupnya.
            “Iya, silahkan Marni, bawa ibumu bersama kita, semoga ibu bisa membantu kita merawat buah hati kita kelak” Sang lelaki menutup pembicaraan dengan si gadis jelita yang akan segera dipinangnya diam-diam itu.
            Satu tahun pernikahannya berlalu, Marni dan lelaki itu dikaruniai buah hati yang eloknya mirip sekali dengan sang lelaki, bentuk wajahnya, matanya yang bersinar, bibir yang tipis, kulit kekuningan dan badan yang bisa dibilang berisi. Namanya Genta.
            Tempat tinggal Marni, suaminya, Genta dan sang ibu menjadi pelindung baru dari hari panas yang menyergap, dari kedinginan malam yang menyepi. Tepatnya berada di ujung selatan Desa Antarjadi, dekat jembatan kertosuro yang menghubungkannya dengan kota, ah sebenarnya tidak dekat, terlampau sekitar 20 kilometer lebih menuju kesana.
            Sang lelaki setiap kali seakan bersalah atas kehidupan Marni yang tak berubah selama menjadi istrinya, malah berkehidupan lebih buruk dari sebelumnya. Sang lelaki selalu menangis dalam gelap malam, saat semua orang rumah telah pulas dalam bunga tidur malam yang mereka-reka kejadian fiksi. Sang lelaki makin terpuruk akan ke frustasiannya. Di tengah malam itu sang lelaki memikirkan hal di luar batas pemikirannya sebelumnya, ia memikirkan hal yang kemungkinan akan membuat anak, istri atau mertunya dapat sedih namun dapat pula bahagia jika kenyataan baiknya dapat terwujud secara pasti. Sang lelaki membatu dalam keheningan malam, dalam kesunyian lorong-lorong di bawah langit malam, malam itu hanya dirinya dan pemikirannya yang menyisakan sebuah  tanda tanya, apa itu harus dilakukannya, apa dia takkan menyesal nantinya.
            “Toh, jika aku berhasil, mereka pun akan ikut bahagia” pikirnya mengakhiri perdebatan batin diantaranya dan keheningan suasana gelap itu.
            Fajar menyingsingkan hari indahnya, pagi itu embun embun berkeliaran ke semua penjuru desa Antarjadi.  Ke sebelah selatan, Di Desa Karanganyar terlihat sosok bapak tua yang telah rapuh kepemimpinannya di sana, dia jadi tak waras, kesana kemari mencari anak, istri nya yang hilang.
            Marni selagi itu sedang memberi upah susu kepada Genta sehabis menangis, kini tangisan Genta lebih keras daripada biasanya, seperti tersirat suatu makna terdalam yang ingin disampaikan pada ibunya yang kini berada tepat di depan pandangannya yang sudah tak kabur lagi, umur hidup Genta mencapai 1 tahun sudah.
            “Nak, kenapa nak..cupcupcup” Ucap Marni lembut pada Genta agar lebih tenang.
            Namun Genta malah menantang dengan semakin menangis tersedu lebih keras lagi dari sebelumnya, ibarat petir yang menyambar siang bolong, tiba-tiba seperti ada sesuatu yang janggal.
            “Mas..Mas..Mas....” Dipanggilnya sang lelaki agar datang kepadanya dan Genta yang masih rewel saat itu.
            Hening. Tak ada jawaban. Hanya sesosok wanita tua yang menghampirinya dengan gelagat kepanikan yang cukup membuat orang yang melihatnya dapat sama-sama panik.
            “Uu...cucu nenek, sini sini..” dipangkunya sang cucu dengan ketulusan luar biasa, tak ada mata melotot untuk mendiamkan Genta, hanya secarik simpul senyum nenek Retno yang bisa membuatnya sedikit lebih tenang.
            Marni yang menjadi lebih baik setelah melihat ibunya bisa mendiamkan Genta, segera meninggalkan Genta dan sang ibu, menuju ruangan demi ruangan di rumah itu yang tak terpaut jauh, hanya sekitar 1 meter. Dicarinya sang lelaki yang ia panggil “Mas..” tadi. Paniknya memuncak lagi ketika tak menemukan apa yang dicarinya itu, hanya secarik kertas di atas ranjang kamar 4x4 m yang mampu membuka sinar penerang menuju hal yang sedari tadi dicarinya.
            Sejurus kemudian, hanya pasrah dan kekuatan yang bisa dilakukan Marni, seakan tak pernah ada lagi gairah tuk menjalani hidup setelah sekian lama Marni menunggu, sekian lama Marni menjalani hidup diantara sisa sisa kekuatan yang diberi dari secarik kertas yang isinya bertuliskan tinta hitam. Hanya kekuatan do’a yang bisa ia sampaikan pada sang lelaki yang tak bersama dengannya lagi, Genta ataupun Ibu. Iya, si lelaki meninggalkan rumah.
            Dalam pikiran Marni, hanya terbersit ingatan isi surat itu, ada kata-kata perpisahan dalam penyiratannya ‘Marni, jaga baik-baik Genta dan ibu ya. Mas mau mengadu nasib di seberang jembatan Kertosuro, kota metropolitan yang katanya keras, doakan mas. -Salam terkasih-“
            Dua tahun telah berlalu, Marni masih kuat dalam doa yang dipanjatkan untuk suami terkasih di sana, Genta pun tumbuh dan berkembang menginjak usia 2 tahun. Nenek Retno semakin menghela nafas akan keputusan menantunya yang kurang tepat, kenapa dia tidak membicarakan dulu bersamanya. Dirinya menyayangkan hal itu. Tersungkur lah dirinya dalam banyak pikiran yang menimpanya, hanya iringan tasbih yang menemani hari-hari akhir yang mungkin akan bertemunya sebentar lagi.
            Marni masih kuat dalam genggaman secarik kertas di tahun ketiga sepeninggal sang lelaki, Genta kini telah bisa mengucap kata ‘mama’ ataupun ‘ayah’ walaupun di setiap kata ‘ayah’ dia seakan menyisakan tanda tanya “siapa ayah?” namun Genta masih kecil, tidak bisa mengungkapkan keingintahuannya itu.
            Tibalah tahun keempat, dimana sang lelaki tak ada kabar. Hari itu Hati Marni jadi tak karuan ketika diberitakan Joni si pemuda yang melanglang ke kota dan baru pulang perihal sang suami yang katanya sempat ia temui.
            “Marni, Suamimu sudah lancang main api!” Dengan lantangnya Joni melancarkan misinya.
            “Apa maksudmu?” tanya Marni diliputi keheranan dan tanda tanya.
            “Aku tahu dia sudah beristri lagi, bahkan sudah punya anak”
            Seperti dihantam bom raksasa, hati Marni seakan rapuh, patah, menangis diantara puing-puing kekuatannya dalam menunggu sang lelaki, rasa geram menyelimuti jiwanya yang sudah banyak diadu rasa marah, kesal dan lelah. Teriaknya seakan dibisukan, hanya air mata yang mengalir di mata indah Marni yang mampu merasakan apa yang Marni rasakan saat itu. Bongkahan cinta Marni seakan pupus dilahap rasa kecemburuannya pada si wanita yang telah diperistri lelakinya di kota.
            “Kurang setia apa aku, menunggunya 4 tahun, lalu itu yang dihadiahkannya untukku?! akan ku cari dia!Akan kuancam dia agar menceraikan aku jika dia tak menceraikan si wanita murahan itu!”
            “Atau akan aku ancam jika dia tak menceraikan wanita itu, aku akan bunuh diri.”
            Segala resah yang melanda hati Marni diungkapnya lewat kata-kata hati itu, tak ada yang bisa melebihi kesetiaan seorang wanita selain rasa tulus. Marni mencintai tulus sang lelaki, namun apa timbal baliknya, apa sang lelaki sudah tak peduli akan adanya Marni?Padahal sang lelaki yang begitu menggebu menikahi Marni sampai-sampai meninggalkan Ayah Marni yang tak setuju akan pernikahan mereka.
            Harap-harap baik Marni pada sang lelaki terus berjalan ke arah kecemasan yang semakin mendera, diputuskannya untuk pergi ke kota lewat Jembatan Kertosuro, Marni sudah seakan tak waras, mengambil keputusan bukan dipikir dulu. Cepat-cepat Marni mengemas baju secukupnya dan mengambil tabungan kecil uang hasil jadi buruh cuci nya selama 4 tahun ini.
            Anak lelaki bermata mirip sang lelaki yang sedang ingin ditemuinya hanya menatap sendu sang ibu, Marni membalas tatapan Genta dengan rasa iba.
            “Sebenarnya ibu tak ingin meninggalkanmu Genta, namun apa daya, ayahmu sudah kelewatan” ucap Marni sambil mengelus kepala Genta yang baru ditumbuhi rambut-rambut halus.
            Jeritan keras Genta tak terbendung dari arah rumah kontrakan di Desa Antarjadi itu. Sang ibu hanya mengangguk sedih untuk melepas Marni yang mau berjuang ke kota, mencari sang lelaki yang dibilang Joni sudah main api.
            Jembatan Kertosuro sepanjang 20 km ditempuh Marni dengan harap-harap besar, ingin bertemu sang lelaki di kota, saat bertemu ingin langsung Marni mengancamnya dan setelah itu jika ancamannya tak dipedulika, Marni akan pulang dalam naungan kesedihan. Mungkin itu lebih baik ketimbang harus terus menunggu di desa, walaupun sakit namun setidaknya dapat membalas kecemburuannya, pikir Marni.
            Setibanya di kota, Marni tak tahu arah, hanya foto sang lelaki yang membawanya berani pergi ke kota untuk mencari sang lelaki. Di pikiran Marni, Jakarta itu ibarat desa lamanya, Karanganyar atau desa Antarjadi yang terpaut dekat jika disamakan dengan sungai, ibarat hulu dan hilir yang tak jauh jaraknya. Namun, Jakarta ternyata luas, besar, dipenuhi gedung-gedung tinggi. Maklum Marni setelah menikah dengan sang lelaki hanya jadi buruh cuci desa yang tidak memahami teknologi, untuk memenuhi hidup saja sudah susah apalagi punya barang-barang mewah.
            Tangisan Genta saat kepergiannya mengingatkan kembali pada rumah kontrakannya di desa Antarjadi, pikirannya berkecamuk antara harus kembali atau tetap mencari lelaki itu, lelaki tak bertanggung jawab yang tak ada kabar 4 tahun ini selama di metropolitan, tak ada jejak-jejak lelaki itu ditemukan Marni. Seketika pikiran Marni terfokus pada satu hal dimana perkataan Joni yang belum tentu benar.
            “Kok bisa aku percaya kata-kata si Joni itu. Belum tentu dia benar, bisa jadi dia mau membalas apa yang kami lakukan padanya dengan mengadu domba kami, dia kan masih dendam pada keluargaku yang menyeretnya ke kantor polisi karena ketangkap basah mencuri”
            Baru teringat hal itu ketika genap 30 hari dia di kota, tak ada jejak sama sekali yang bisa Marni dapati, pulanglah Marni ke Desa Antarjadi yang setelahnya berperawakan lebih kurus, wajahnya lebih tirus daripada sebelumnya, bibirnya pucat pasi dan tak terlihat adanya gairah hidup. Metropolitan yang buatnya begitu, ah bukan sang lelaki tepatnya. Sesampainya kembali di rumah kontrakannya, bola mata Marni tertuju pada lelaki yang sedang duduk di kursi tua rumahnya, sang lelaki memandang Marni dari ujung kaki sampai ujung kepala, sejurus kemudian lelaki itu memeluk Marni erat yang jauh berbeda daripada 5 tahun lalu, namun kesucian cinta tak dapat memburamkan sejatinya cinta, setelahnya dicium kening Marni seraya bersimpuh di hadapan kakinya.
            “Marni...”
            “Maafkan Mas.”
            Marni terdiam seribu bahasa, mengangkat tubuh Lelaki itu untuk bisa sama rata, dengan sama-sama berdiri.
            “Kamu kemana saja 4 tahun ini mas?” tanya ketus Marni tanpa menatap wajah suaminya itu secara langsung.
            “Ini untukmu” diselipkannya cincin berlian ke jari  manis tangan kanan Marni.
            “Apa ini?” tanya Marni melongo tanda heran.
            “Ini janjiku dulu, aku baru bisa menyanggupi sekarang”
            “Darimana ini?selama ini kamu mencuri mas?” lagi lagi tanya Marni.
            “Aku berjuang di kota Marni”
            “Bohong, kamu tlah khianati aku mas!” seru Marni pada lelaki itu, teringatnya pada kata-kata Joni, si pemuda yang melanglang ke kota.
            “Itu bohong, 4 tahun ini aku berjuang di kota. Mulanya aku jadi supir taksi, namun..”
            “Namun.. Tuhan berkehendak lain, di tahun ketiga Mas bekerja, sang pemilik taksi-taksi itu meninggal dan memberi wasiat yang berisikan segala harta dalam bentuk taksi-taksi nya menjadi milikku. Begitu Marni. Di tahun keempat Mas bekerja, Mas menjalani usaha itu dengan bersemangat, syukur, lagi-lagi kuasa Tuhan, sekarang mas sudah punya rumah di kota Marni” jelas lelaki itu pada Marni.
            “Mas..Mas Paijo, selama ini aku kira kau bermain wanita lain di sana, aku kira kau melupakanku dan Genta. Joni, joni yang berkata” lirih Marni pada suaminya.
            “Joni?Joni sudah meninggal seminggu lalu di kota, dia sudah meninggal, jadi korban tabrak lari di kota, mata kepalaku saksinya.” Beritahu suaminya, Mas Paijo pada Marni.
            “Inalillahi Wa Inailahi Rojiun...Aku tak percaya, bahkan dia masih bisa mengadu domba kita dulu, dia masih dendam terhadap masalah pencurian itu” Marni bereaksi kaget akan pernyataan suaminya itu.
            “Ya sudah..Semoga dia diberi tempat terbaik di sana, Aamiin. Marni, ibu, Genta mari kita buat kehidupan baru di kota?” Ajak Paijo dengan muka sumringah.
            Genta senyam senyum layaknya bayi yang diberi upah susu, Nenek Retno pun ikut-ikutan terseyum pertanda setuju namun Marni berbeda rupanya.
            “Lalu bagaimana dengan ayah? Marni tak tega biarkan nisan ayah sendiri, Ayah sudah meninggal mas..” haru tangis Marni tersusut di pelukan Paijo.
            Pelukan hangat itu membawa pada ketentraman hati Marni seperti sediakala, senja hari tampakan lembayungnya, membawa keluarga kecil itu kembali ke Desa yang pernah jadi tempat hidupnya, Desa Karanganyar, disana nisan bertuliskan ‘Abdul Binti Sumah’ diguyur air dan kembang-kembang wewangian oleh keluarga kecil itu. Setelah permintaan maaf dan doa terpanjatkan di depan nisan, mereka menuju ke arah mobil warna biru bertuliskan ‘taksi’, hari sudah menampakkan warna kelamnya, di dalam mobil bertuliskan taksi itu. Genta bertepuk tepuk riang melihat pemandangan di luar jendela malam, Nenek Retno tak kalah gembira karena sudah tenang tak ada kata ‘nanti’ lagi untuk berziarah ke makam suaminya. Sedang sang dua hati yang telah menyatu kembali, Paijo dan Marni menikmati malam itu dengan bercengkrama dalam lautan kebahagiaan yang telah tereka di depan mata.
            Mempercayai hal yang tidak mungkin adalah sebuah titik balik seseorang dapat tergerak jiwa dan semangatnya mengubah kepercayaan itu menjadi sesuatu yang mungkin.
“Hidup itu berputar, aku yakin kuasa Tuhan”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar