Sabtu, 16 Agustus 2014

SEPARUH YANG HILANG



Sudah kiranya lama saat dimana jasad bunda pergi dari hadapanku. Sudah kiranya lama pula aku rindu akan segala yang aku rindukan tentang dirinya, dengan sayangnya yang membelai setiap saat, cintanya yang menggebu, juangnya hadapi hidup bersama dan senyum nya yang paling kurindukan, senyum tulusnya.
            Semenjak ia hilang, seakan hilang pula separuh jiwaku, kini setengah jiwaku hilang, remuk, mati bak seakan patah bersisa setengah. Menunggu belas kasih dari ibunda yang lain yang siap menggantikan bunda yang baru dua minggu pergi itu. Namun tiada hal yang paling bodoh sampai bisa aku memikirkan hal itu, padahal umurku sudah akan genap mencapai kepala 3.
            Aku hanya mengenal dia selama aku hidup, satu sosok perempuan yang begitu mencintaiku, tiada yang lain. Kau tanya simpanan?apa lagi, hanya akal busuk ku yang mungkin memikirkan perkara bodoh itu. Membuang dan menyia-nyiakan waktu tepatnya. Benar, aku hanya punya 1 perempuan, hanya ibu yang mencintaiku, dan aku pun mencintainya. Dan kini Tuhan ambil dia.
            Kau tahu ketika senja tiba?
            Kau tahu tepat waktunya tiba?
            Dimana waktu itu yang paling berat untuk ditinggalkan
            Dimana aku berdiri dalam terpaan angin sore
            Dingin!
            Mencekam diri.
            Bulir peluh, penyesalan, kekecewaan terus mengalir dari simfoni hati, baru kali ini aku melihat lelaki berusia genap 30 tahun mengeluarkan air mata tak henti, manja bodoh tidak karuan aku definisikan. Namun pada kenyataannya yang aku lihat itu adalah diriku, ya diriku sendiri. Lewat kaca yang memantulkan perwatakan dan rupa juga badan yang berproporsi sama, jenggot dan kumis yang sudah bisa dibilangnya meradang dan memang itulah aku. Lelaki dewasa yang kini kekanak-kanakan, menangis manja seperti ingin diberi upah.
            Turut berduka cita Pak. Semoga amal ibadah ibunda diterima di sisi terbaik Tuhan.
            Saya ikut belasungkawa ya Pak.
            Saya ga percaya ibunda Bapak akan pergi secepat ini, semoga bapak diberi kekuatan. Aamiin.
            Dan pesan diterima lain-
            Empati yang memenuhi kontak pesan telepon genggamku, terus bermunculan. Seperti halnya jati menggugurkan daunnya untuk menyesuaikan diri. Wajar sekali keadaan itu aku rasakan, orang yang ditinggalkan harta satu-satunya hidup. Ibu satu-satu nya hidupku, segala tentangnya akan bersemayam terus bukan sekarang saja tapi esok, hari setelah hari esok, dua hari setelah hari esok dan selamanya.
            Mencekam diri!
            Berjalan dalam nuansa keheningan...
            Tenggelamlah dalam suasana yang cukup disadari
            Pergi lah panjangnya hari siang
            Tiba lah sore dan malam yang penuh kesuntukan!
            “Assalamualaikum.” Suara wanita dari balik pintu menghilangkan tetes-tetes air mata yang tak bisa aku hentikan, walau nyatanya masih terlihat sembab, namun setidaknya aku tidak mau dibilang ‘lelaki dewasa cengeng’.
            “Waalaikumsalam.” Jawab ku menuju pintu, membalas salam nya dengan masih terbayangkan wajah dan kasih ibundaku.
            “Mas Robi, aku turut berduka, aku tidak menyangka hal ini begitu cepat terjadi.” Kata wanita itu dengan nada suara penuh keharuan padaku.
            “Aku sudah menganggap ibu, sebagai ibuku sendiri. Ia orang baik dan pastinya akan masuk syurga kekal Nya.” Lanjut omongannya lagi sambil memeluk ku dengan keharuan mendalam.
            “Iya Zainab, aku menyesal!” seru ku lalu melepaskan pelukannya dan kembali masuk ke dalam rumah sambil menggebruk pintu.
            Zainab masih terpekur di depan pintu, dalam lamunannya ia mengingat kembali ucapan bunda lelaki itu “Zainab, kau adalah wanita baik, oleh karena itu kau pantas mendapatkan anaku, dia juga lelaki baik. Insya Allah. Cintai dia, jaga dia lalu jadikan dia imam yang dapat diteladani anak-anakmu kelak” perkataan itu masih mendengung tajam di balik telinga Zainab.
            Ia pun kembali ke rumah nya yang bisa disebut gedong dan menjentawahkan segala rasa yang dialaminya, menangis akan pengharapan pongah hati nya yang sepertinya tak terbalaskan.
            Cintaku akan kujadikan seperti layaknya kuku, kalau digunting akan hilang. Sama hal nya seperti rasa ini yang tak terbalaskan, akan hilang. Namun dalam waktu dekat mungkin akan tumbuh lagi. Dan aku akan memanjangkannya dengan segala kesabaran yang ku punya, jika suatu hari dia masih tak membalas cintaku, itu artinya aku akan menggunting lagi kuku ku, lalu akan tumbuh lagi dan akan begitu seterusnya. Sampai aku mendapat imam terbaik dari takdir Tuhan padaku.
            Catatannya mengakhiri cerita cinta Zainab.
            “Jika ada alat yang mampu mengulang waktu, aku ingin membeli alat itu!” keras tekad sang lelaki berkata.
            “Semahal apapun harganya, asal bunda menemani hari-hari ku lagi...”
            Mengucur lagi air mata sang lelaki, berharap dan bermimpi layaknya orang kurang waras kini. Tak ada yang mampu membalaskan cinta ibu, selain mengulang kembali waktu dan melakukan hal sebaik mungkin padanya.
            Tiba lah sore dan malam yang penuh kesuntukan!
            Dimana malam itu seperti perapian kegelapan yang panjang.
            Sunyi
            Hening
            Pohon-pohon berdiri kaku
            Gedung-gedung tinggi perkotaan tidak jelas terlihat
            Keduniawaian seakan tak terpikirkan orang-orang kala itu
            Hanya harap-harap sinar bintang mengawasi malam panjang yang mati
            Hati sang lelaki kini bukan seperti dulu, air mata sang lelaki pun bukan seperti dulu, keadaan sang lelaki kini pun bukan seperti dulu.
            Dulu...baja bisa diibaratkan hati sang lelaki, seberat apapun hati terbentur takkan sampai hatinya bersedih seperti ini, namun payahlah kini dan bisa disebut seperti kertas.            
            Dulu...besi bisa diibaratkan air mata sang lelaki, sesering apapun hal buruk menimpa dirinya takkan ada air mata, namun manjalah kini air mata tak pantas itu dan bisa disebut bayi.
            Dulu...tiang bisa diibaratkan keadaannya, sekeras apapun tiang ditabrak takkan roboh, namun berbedalah kini, seperti diserang batu 100 kali kepalan tangan  dan akhirnya robohlah tiang itu. Dan keadaan sekarang ini bisa disebut air sungai. Yang pasrah mau dibawa kemana saja oleh arus yang begitu hebat berjalan.
            Takkan ada ruang hati untuk siapapun wanita yang mencintaiku kini. Ibu hanya ibu yang mengisi setengah jiwa yang tersisa.
            Betapa bodohnya aku ketika tepatnya hari lahir ibu tiba, setiap 10 Januari. Aku masih berkutat dengan pekerjaan kantorku yang menumpuk dan tak menyisakan celah-celah kejutan hari spesial ibu.Padahal ibu selalu memeriahkan hari ulang tahunku semasa kanak-kanak dengan semacam pesta. Apa balasanku.
            Betapa pandirnya aku ketika suruhannya untuk sarapan pagi sebelum berangkat kerja kuacuhkan begitu saja. Kepedulianku terhadap kesehatan ibu pun tak ada. Padahal ibu selalu masuk ke kamarku tiap pagi untuk membangunkan aku semasa sekolah dan masuk lagi ke kamarku setiap malam untuk menina bobokan aku. Apa balasanku.
            Betapa tidak warasanya aku ketika satu waktu dimana itu hari aku merayakan hubungan tahunanku dengan seorang perempuan cantik pujaanku di suatu cafe. Ketika itu pula ibu sedang sakit-sakitan dan menelponku untuk segera pulang dan membelikan obat untuk ibu, tapi aku malah mematikan handponeku dan mengatakan kepada pujaanku “Cuma nomor salah sambung”.
            Betapa, betapa, betapa tak tahu dirinya aku ketika hari itu, aku selesai masa kuliah dan jadi sarjana. Saat pemberian toga, ibu yang  sedang sakit-sakitan masih rela datang dia acara bahagiaku dan langsung memelukku di tengah-tengah keriuhan teman-temanku lain yang sama halnya bahagia, namun aku malah mendorongnya dan mengatakan “SIAPA KAMU? AKU TIDAK PUNYA IBU SEPERTIMU”
            Hujatlah aku, ejeklah aku, cacilah aku, bahkan bunuhlah aku jikalau itu semua bisa membuat keadaan yang telah lewat dimana aku bisa merubah kedurhakaanku padanya menjadi hormat dan meyayangi dirinya. Namun bisakah?
            Hanya harap-harap sinar bintang mengawasi malam panjang yang mati.
            Tak bersua remang-remang cahaya bintang
            Tak terlihat sinar benderang cahaya bulan
            Tak jua terasa indahnya kunang-kunang
            Hanya kegetiran malam yang tersisa
            Semua mengutukku dalam kegelapan
            Hujan pun menambah kutukanku malam itu.
            Bahkan...bisakah kamu menyebutku orang yang lebih baik dari pada kata ‘bodoh’, ‘pandir’, ‘tidak waras’,’tak tahu diri’ ketika kamu mengetahui sebab wafatnya ibu. Ketika itu masih pagi aku pergi dengan baju bersih, namun di perjalanan ketika aku telah dekat menuju kantor, ada mobil yang menderu kencang berkendara, akhirnya baju kantorku basah dan kotor karena keciparatan air kotor di genangan oleh mobil itu. Mendenguslah aku dan pulang, disana terlihat ibu yang sedang membaringkan kerontaannya di kamar tua nya.
            “Cucikan baju ini, sepulang nanti aku ingin sudah kering”
            Dengan sisa daya kekuatan, ibu mencuci baju ku dengan tangannya yang sudah keriput, binar-binar harap siang panas tenyata meleset, siang itu hujan. Lebat, malah lebih lebat dari hujan biasanya. Akhirnya baju kotor ynag telah dicuci itu pun tak kering.
            Ketika aku pulang dan melihat baju itu dalam keadaan basah, emosiku naik dan membawa ibu yang telah pucat pasi wajahnya ke luar, malam  gelap dan hujan, disana aku suruh ibu merasakan dinginnya jika air menyelungkupi tubuhnya. Tujuannya agar dia tahu bagaimana rasanya jika baju basah yang dicucinya dikenakan aku dalam keadaan basah. Dingin bukan!
            5 menit badannya terlihat kedinginan.
            10 menit badannya sudah terlihat menggigil hebat.
            15 menit...Tersungkur lah ia.
            Hujan jadi saksi berhentinya denyut nadi ibu atas dasar kedurhakaanku.
           
            Hujan pun menambah kutukanku malam itu.
            Namun beberapa saat kemudian
            Binar-binar aura cahaya muncul untuk menerangi malam gelap itu
            Cahayanya berdiaroma ke wujud seseorang
            ITU IBU
            Aku menangis tak karuan
            Melelehkan bajanya hatiku
            Merasakan cinta haqiqi ibu di gelap itu
            Ku sentuh cahaya itu
            Namun aku tak mendapatkannya
            Ku peluk sosok itu
            Namun aku tak mendapatkannya
            Ternyata isi sajak ini hanya khayalku
            Ibu...
            Maafkan anakmu yang hina ini
            Meski kau telah pergi
            Khayalku yang penuh gelap
            Kau masih datang menemaniku dengan sentuhan cahaya
            Di saat semua mengutukku
            Kau masih menemaniku
            Ibu...
            Sekali lagi maafkan anakmu ini yang telah durhaka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar