Sabtu, 16 Agustus 2014

KESAKSIAN SEPATU RODA



“Berputar...Terus berputar hingga terseok dalam takdir Tuhan”
            Tak pernah coba berhenti dalam roda kehidupan, terus berjalan lewati semua yang diam atau sekadar istirahat dalam sukarnya berlari. Fantasi itu menggenggam asa ku tuk coba memilikinya. Aku sangat ingin memilikinya. Memiliki yang layak.
“TENGGELAMKAN MIMPIMU!” Teriak keras bernada kurang bersahabat dari trotoar di atas sana.
***                                  
            Aku sangat mengerti bagaimana jalannya roda, mulai dari roda mobil dekade lama hingga modern atau banyak dikenal merek Lamborgini yang ditumpangi manusia-manusia berdarah biru dan tak aku mengerti mengapa berbeda dengan nasibku, roda kendaraan bermotor yang ditumpangi bapak, ibu, remaja yang beraut wajah tak karuan dalam dinginnya pagi waktu kerja, roda sepeda yang ditumpangi anak-anak kecil yang masih bermain ceria dalam limbung kekanakannya juga roda sepatu, sepatu roda maksudku, maaf aku hanya anak kolong.
            Cicit-cicit burung, gugurnya dedaunan pohon, embun yang menyelam nuansa buta dan aroma aksen kelusuhan rakyat kami diadu di hari ini, kembali, seperti biasanya. Tidur dan bangun dalam keadaan yang sama, bau.
            “Anak kolong sepertiku takkan bisa mendapatkan apa yang aku mau, takkan pernah dan takkan mungkin”
            Sejenak roda-roda kehidupan yang telah sangat aku mengerti seakan berhenti sesaat, berhenti mengalun kekecewaanku.
            Mengembara harap lebih di waktu yang seakan berhenti itu.
            “Hoy!”
            “Hah...” Aku seketika berdecak kaget membalas tepukan keras tangan lusuh yang bermujur kurang baik layaknya aku. Oh Rajeb, dia Rajeb, teman seperjuanganku yang terobsesi dengan kekuatan. Entah apa yang menjadikan kekuatan mengobsesikan dirinya, mungkin karena memang dia pernah dihakimi tragis oleh warga komplek elite dulu makannya dia mengobsesikan itu. ‘Aku ingin membalas mereka yang sedari itu menghakimiku’ alasannya.
            “Pagi-pagi kok udah ngelamun, ayo cepat siap-siap ke atas, ini waktu yang pas, bos besar sedang di luar!” Ajak Rajeb berkobar semangatnya.
            “Asyik! Akhirnya roda-roda impian, akhirnya aku kan temukan kau lagi!”
            “Ah kamu ini, selalu saja sepatu roda yang ada di harapmu. Sudah siap? Mari kita naik!” Ajak  Rajeb lagi sambil mengayunkan langkah deluan memanjat naik ke atas, atas trotoar maksudnya, maklum aku sekadar tinggal di gubug kolong.
            Setibanya di trotoar, refleks pikiranku mencoba menggerakan kakiku ke arah kanan, berjalan di pinggir roda-roda yang menderu, tibalah aku di tempat favoritku. Tempat yang sama-sama pengap nya dengan kota yang aku pijaki, metropolitan yang penuh kesenjangan. Disana aku mendapat roda-roda kerinduanku, sepatu roda buangan orang metropolitan. Aku pun mengambilnya.
            Rajeb, dia sudah tahu betul kebiasaanku, dia pun hanya mengulas senyum.
            “Asyik Jeb, aku dapat satu pasang, lumayan bolong-bolongnya ga terlalu parah, ga kaya yang kemarin-kemarin, jebol jadi gada yang bisa kucoba.” Curahku padanya.
            “Haha dasar anak kolong pecinta sepatu roda.” Responnya lagi-lagi dengan senyum.
            “Haha. Aku memang pecinta sepatu roda, aku sungguh-sungguh Tuhaaaan!” teriakku di TPS yang semakin berbau busuk aromanya.
            “Ah yaya. Ayo cepat turun lagi, bos besar takutnya udah pulang.”
            ***
            Badannya yang bergumpal otot-otot tak bertepi, rupa nya yang menakutkan menambah gambaran kekejaman lelaki itu. Tabiatnya yang buruk, seperti hal nya suka berjudi, minum-minuman dan ngelem yang lebih tak aku dan Rajeb sukai, bak babu iblis dunia yang dikurung oleh jeruji besi yang kuat, sempit dan mustahil terlepas. Berbeda dengan anak kolong lain, mereka bak mendewakan si lelaki iblis itu, menuruti segala perintahnya dengan spontan dan ikhlas tidak seperti aku dan Rajeb yang membantah dahulu sebelum melakukan hal ‘tabu’ yang aku sebut hina.
            Hina, benar, sangat hina. Kami disuruh berpakaian compang camping lebih dahsat dibanding compang campingnya baju-baju kami, terbayang bukan robeknya di hampir semua sudut, juga sambil membawa gelas air minuman bekas, mudah memang tinggal duduk dan pura-pura melumpuhkan kaki. Dapat diraup Rp 200.000,00/hari, namun hal hina tetap hina.
            “KUMPUL KUMPUL!!!”
            Suara keserak-serakan sekaligus tegasnya mewarnai kesunyian kala itu, semua tampah riuh kesana kemari mencari sumber asal suara, suara bos iblis itu. Si Togar namanya.
            “SEKARANG CEPAT MENGEMIS LAGI DI ATAS!!!” suruh si Togar lantangnya tanpa raut dosa.
            “Kami tidak mau lagi!!!” Kataku memberanikan diri menolak pada suruhan si Togar.
            Semua nampak bersungut memandang aku, bodoh, bebal dan pandir mereka bisik-bisik bersuara padaku, seakan aku melakukan hal yang salah, padahal untuk kebaikan semuanya. Namun apa daya hanya Rajeb yang bersedia menjadi teman ku.
            “Benar, tepatnya kami berdua tidak mau lagi!!!” Bela Rajeb tak mau kalah.
            Dibawa nya sebilah benda tajam dan didekatkan ke leher kami, kami pun hanya bisa mengiyakan suruhannya atas dasar terpaksa, aih iblis macam apa yang menggerogoti dirinya Ya Rabb.
            Bersedialah kami mengemis di trotoar, terpaksa, sangat terpaksa. Kocek yang kami kumpulkan tak sedikitpun kami terima, semuanya diraup si iblis itu, kami hanya mendapat imbalan satu bungkus nasi tak berbau sedap, namun apa daya, hidup ini tetap saja roda yang terus menggelinding dan hanya bisa berhenti atas dasar kehendang sang Illahi.
***
            16 tahun lamanya aku menapaki setiap lika-laiku kehidupan di sini, kolong jembatan yang tak berarti dan tak pernah diartikan oleh siapapun yang memiliki sejenis roda-roda trotoar. Aku ingin ubah paradigma masyarakat tentang kami, tak berbedanya kami dengan mereka, kami sama seperti mereka, menjalani hidup bersama roda yang menggelinding.
            Sudah 20 pasang koleksi sepatu rodaku di kolong, aku menyimpannya di brankas mahal milik Tuhan, tanah, yap di bawah tanah. Karena mengapa? Bang Togar tak ingin kiranya ada barang yang tak penting dan seperti halnya sepatu roda, karena kami dibilangnya hanya ‘Anak kolong tak bermasa depan’.
            Keinginanku memiliki roda mahal sejenis sepatu itu dari dulu, telah lama, aku mengenalnya lewat seorang bocah kota yang aku temui saat aku mengemis di taman dekat trotoar, aku hanya melihat tingkah lucunya berlari-lari di sana dengan sepatu berodanya, bagus dan bagus sekali dilihatnya.
            “Debug!!!” suara meja berhamburan memekik telinga.
            “APAAN INI, BARANG TAK BERGUNA!” Bentak Togar yang sedari itu menemukan aku di belakang gubuk kolong yang sangat sempit, aku cepat menguburnya kembali namun Togar telah lebih cepat melemparkan api ke brankas penyimpanan sepatu rodaku selama ini.
            “Abang, apa urusanmu, jangan!!! Ini sepatu roda temuanku di TPS!!!” aku tak setuju atas perbuatan tak beralasannya itu.
            “Astaga Jal, kenapa di bakar segala ini, sepatu rodamuuuuu??!!!” Seseorang yang baru tiba itu kaget bukan main.
            “Huk..Huk..Huk..Sudahlah tak apa, di saat aku hanya memiliki sepatu roda buangan saja, nasibnya telah seperti ini, mungkin bukan nasibku memiliki apa yang aku harap Jeb” Tersendu aku dipertontonkan tarian api yang semakin besar membakar 20 pasang sepatu sepatu rodaku.
            “Tinggalkan kegalauanmu, mari cari sumber air di atas, api bukannya semakin padam malah makin liar Jarrr!!” Beritahunya padaku yang masih menundukan kepala, tercekat kaget aku saat mendongakan kepala ke atas, api yang di lempar sepercik oleh Togar dapat menjadi bulan-bulanan awan yang seakan merintih kesakitan.
            Selang dua jam setelah tragedi itu, semua petugas pemadam maksudnya aku dan Rajeb sedikit lega, maklum lega karena kami rasa kami hebat, anak kolong lain belum dapat kabar tentang hal kebakaran tadi, jadi dengan upaya penanganan dua anak remaja seperti kami, telah sanagat maksimal, apa yang melahap-lahap bak monster dapat diraibkan.
***
            Sepatu roda yang aku inginkan belum dapat aku terima kali ini, mungkin roda yang menggelinding belum jatuh pada keberuntunganku, maksudnya masih ada hal-hal lain yang lebih bermakana dibanding memikirkan hal kecil seperti sepatu roda yang belum tentu besar khasiatnya.
            Dari sepatu roda aku belajar untuk senantiasa mengahargai hidup setiap detik waktu yang berjalan, karena kapan saja, dimana saja, siapapun kita akan berhenti dimana kehendak Tuhan telah sejalan dengan suratan Takdirnya.
            Dan Jasad pun tlah jadi abu, persis seperti kata-kata yang pernah diucapkannya padaku, Jafar Musaffar. “TENGGELAMKAN MIMPIMU”, tapi Tuhan Adil ternyata, kata-kata itu kembali pada pemiliknya yang mana lebih tepatnya “TENGGELAMKAN JASADMU”. Kini jasadnya telah mengudara menjadi abu hitam yang berterbangan diantara roda-roda kehidupan.
            SELAMAT JALAN TOGAR!
            SEPATU RODA PULUNGANKU KAN JADI SAKSI MATIMU!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar