Minggu, 06 Juli 2014

Lantunan Suci Penakluk Hati


CINTA...
Nyatakah kau adanya?
      Cinta itu universal. Cinta pada makhluk itu biasa. Cinta pada alam itu lebih dari yang biasa. Cinta pada Zat Illahi itulah yang luar biasa.
      Diawalinya hari dengan muhasabah cinta, pagi hari setia, temani dalamnya rasa. Tuk apa? Tuk kuatkan iman pada Nya. Agar tak terjerembab masuk jurang nista dunia.
      “Ya Rabb.. Hidup ini fana, kuserahkan semua hidupku hanya untukMu, tak putus berdoa, agar masuk ke surga milikMu. Ya maha Pemurah lagi Maha Penyayang, aku tahu, cintaku belum sepenuhnya untukMu. Aku masih nomorduakan Mu dengan sesuatu, yang tak aku rasai itu. Ku belum sempurna dalam ibadah. Namun Demi Allah aku mencintaimu lebih dari apapun yang aku cintai di dunia ini.”
      Cinta jadi bahan doanya... Tiap jam dinding berdetak, itulah tiap dirinya berkata “Kucinta Kau Allah” begitu seterusnya. Dunia ini dirasa bukan dunianya, bukan dunia sejati, yang kan dihidupi abadi namun lekas pergi, ketika semua mati.
      Hidungnya yang mancung, bibirnya yang merah merekah, pipinya yang merona  tersembunyi sempurna oleh sehelai kain cadar abu-abu miliknya. Berbinar netra elok bak mata bidadari dunia. Berbalut pakaian tertutup dengan jilbab tergerai menutupi dadanya. Itulah dirinya, muslimah sejati yang didekap dunia yang semakin terombang ambing bencana. Bencana wanita, yang terpendar oleh syakhwat belaka.
      “Assalamualaikum...Assalamualaikum ya surga dunia.” Lelaki berpenampilan rapi nan sholeh dengan wajah bersih dihiasi irisan kumis tipis di atas bibirnya tepat sedang menunggu salam itu terjawab.
      “Assalamualaikum... ya wanita solehah. Jawablah salam ini.. karena salam adalah doa, doaku yang kupanjatkan di depan pintu ini, setiap kali di pagi hari adalah untukmu. Agar kau jadi penyempurna hidup ini, agar rusuk yang kumiliki kembali ke tempat yang harusnya didiami.” Lelaki itu tampak penuh harap memandangi pintu rumah itu, pintu hati dekapan jiwanya. Sambil coba diketuk pintu itu berulang, hasilnya sama... hening, tak ada jawab dalam pintanya.
      Lelaki itu teteskan air mata kesedihan berpengharap,  jatuh ke permukaan tanah yang dipenuhi rerumputan hijau kelana. Lalu ia pergi dan menghilang entah kemana.
      “Waalaikumsalam.” Jawab lembut berbisik oleh wanita sang pemilik hidung mancung.
      Masihlah dia dalam dekapan hangat TuhanNya, terus berdoa, sesekali menjentrikan jarinya lembut untuk senantiasa bersolawat pada RasulNya.
      “Assalamualaikum, wahai wanita mulia. Aku datang kesini tuk jemput cinta. Cinta dunia tuk sempurnakan hidupku, beralaskan keyakinan aku datang. Akankah kau jawab salam dan pintaku ini?” Lelaki yang ini tentu beda. Penampilannya keduniawian, perhiasan di setiap sudut raganya. Dan kau tahu hatinya? Buruk!  Ia hanya pengudara cinta ke setiap wanita, seakan wanita kuasai dirinya.
      “Waaalaikumsalam ya ikhwan” jawab wanita itu lebih keras daripada sebelumnya. Tapi, tetap tidak terdengar sampai nanungan pintu, dimana lelaki itu ada.
      “JAWAB KALI INI SAJA! SUDAH BERAPA KALI AKU DATANG KESINI!SATUAN KALIKAH?TIDAK, PULUHAN KALIKAH?TIDAK, YA RATUSAN KALI! KAU HARUS HARGAI AKU. HARGAI CINTAKU YANG DATANG UNTUKMU! HARGAI CINTAKU DENGAN BALASAN CINTA KASIH MU! AKU BERHARAP PENUH PADAMU, WANITAKU, JADILAH WANITAKU!” Gejolak kemarahan lelaki kedua itu tak terbendung, nada tinggi seakan merayapi alam qalbunya yang tenang jadi menggerayang. Pikirannya kalang kabut tuk dapati wanita dibalik pintu merah, semerah jiwanya kala itu. Nafsu memuncak sampai-sampai niatnya mau rusaki pembatas merah itu, sang pintu.
      Sang pemilik bibir merah merekah itu sontak mengucap “Astagfirullahilaladzim...” beristigfar lah dia, masih dengan nada rendahnya, lembut, selembut pasir putih pantai dalam genangan ombak mengayun.
      Berjalanlah dirinya menuju pintu dengan masih meminta perlindungan AllahNya yang sangat ia cinta. Asma Allah tereka diantara bayang-bayang dibalik pintu itu, semakin dan semakin dekat lagi dengan pintu. Tapi hatinya seakan menegur untuk tidak sampai membuka pintu. Akhirnya berhentilah ia dibalik pintu, menyenderkan punggung indahnya dibalik pintu, tuk dengar hati lelaki itu berkata.
      Hati lelaki itu seolah mati, Jiwanya semakin ganas, menggerogoti relung hatinya, semakin berapi-api oleh zat Tuhannya, iblis yang menjelma jadi wanita.
      Tidak lama, lelaki itu lakukan hal yang sama seperti lelaki sebelumnya. Sedih dalam kejantanannya, kemarahan jiwanya, keegoan hatinya. Menetes lah air kesedihan ke permukaan tanah, jatuh...lalu ia pergi entah kemana.
      Menetes jua lah bulir dari netra elok wanita itu, semakin sendu dalam nuansa berbalut cinta Pada Tuhannya, yang kuasai hatinya. Buliran sendu itu bukan tuk para pujangga cintanya tapi tetap, untuk kekasih hatinya, Allah Azza Wajala.
      “Assalamualaikum...” Salam terucap dari lelaki ini, ini yang ketiga. Namun ia lekas pergi, karena salamnya tercampaki, oleh rasa elok wanita yang masih suci.Tapi, dia tak lakukan hal yang sama seperti lelaki sebelum dan sebelumnya, dia bukan pungga cinta. Bukan.
      Adzan isya dikumandangkan indah oleh lantunan sempurna sang muadzin, menetes lagi keindahan bulir netra tajamnya.. Semakin terpikat hati nya pada cinta yang sama, Allah yang berkuasa. Solatlah ia dengan kekhusyuan yang luar biasa.
      “Allahuakbar...” Takbir lembut mengawali khusyu shalatnya sang wanita pemilik pipi merona.
      Dalam sujud isya nya di rakaat ke 4, kekhusyuan shalatnya hilanglah sudah, berkat keduniawian yang sempat melintas pikirannya.
”Siapa yang melantunkan lafadz adzan itu..? Siapa yang mampu menggertakan hati ini dengan nyanyian merdu suara adzan itu? Siapa yang bisa sesempurna itu dalam melantunkan adzan sampai hati ini luluh, siapakah dia YaAllah...Hati ini beda adanya. Luluh oleh lantunan itu.”
      Cepat  dirinya bangkit tuk melanjutkan shalat isya 4 rakaatnya pada sang Lillah, bertasyahud akhir dengan kembali menutup keingintahuan hati nya bertanya. Bertanya soal cinta baru yang tumbuh dalam hati paling kecilnya.
      Embun di pagi buta bersorak syukur bersama dinginnya sang pagi, masih Tuhan bisa hidupi, bersama dinginnya pagi sayup-sayup rindu wanita itu timbul lalu hilang lalu timbul lagi lalu hilang lagi dan begitu seterusnya.
      “Assalamualaikum” ucap seorang lelaki dengan suara peralihan pubernya, ia masih muda, baru berjuang dari ibu kota, bukan pujangga, tapi, si lelaki ketiga.
      Suara salam itu lantas cepat dijawab oleh wanita yang masih rasai rindu yang cekam hati dan jiwanya.
      “Waalaikumsalam.. siapa antum?” Jawab ramah si wanita sambil matanya melarak lirik wajah lelaki itu, lalu pengingatannya kembali lagi.
      “Dik .. Kamu adikku kan? Subhanallah, sudah besar kamu ya.. Berubah sekali. Kamu terlihat lebih dewasa dan tampan, ayo silahkan masuk gubug kakamu ini” wanita itu menyambut hangat adiknya yang baru tiba.
      Fazar namanya, ia adalah adik dari wanita itu. Tampan, soleh, akhlaqul karimah, badannya tinggi tegap, sama bersih elok rupanya seperti sang wanita. Dihiasi wajahnya oleh hidung mancungnya dengan bibir mungil yang merah muda dan bulu bulu halus di sekitar pipinya.
      “Afwan ka, Fazar tidak beritahu kaka sebelumnya datang kesini, sebenarnya kemarin Fazar sudah datang kesini, namun tak ada yang jawab salam fazar, jadi fazar menetap di masjid Insani semalaman.” Jelas Fazar dengan mata yang menatapi sempurna netra berbinar kakanya itu.
      “Astagfirullah..Kenapa tidak sms kaka saja?” Tanya wanita itu ke adiknya.
      “Kontak Fazar di handpone hilang semua ka.. terhapus tak terkira, tak tahu kenapa..” Jawab Fazar dengan tampang yang menunjukan sedih raut rupa nya.
      Pikiran wanita itu kembali pada kejadian kemarin, hatinya mendesir rindu pada lantunan adzan isya yang dikumandangkan seseorang. Mulanya, ia ingin bertanya pada sang adik, “siapa yang mampu seindah itu dalam mengumandangkan adzan di waktu isya kemarin dik?” Hah, namun bukan waktu yang tepat.
      “Fazar rindu kakak.. Di Jakarta Fazar sudah dapat kerja, di perusahaan ternama, sekarang lagi ambil cuti buat jenguk kaka, kasian kan, sendiri di rumah..” Kata Fazar menjelaskan tujuan datangnya.
      “Aku pun rindu kau dik, 3 tahun lalu kamu masih ingusan, sekarang berubah 180Ÿ.” Ucap sang wanita membalas kerinduan adiknya itu.
      “Ayo, kakak antar ke kamarmu” ajak wanita itu dengan sejuta kerinduan yang masih belum lepas, rasanya ingin sekali memeluknya, menggendongnya, mencubitnya namun dia sudah terlalu besar kini.
      Lembayung kuning menemani sore sang Fazar yang bahagia, bahagia bisa bersua kembali, dengan sang wanita yang disapanya dengan kakak, elok dan suci kalbunya.
      “Makin sempurna saja jilbabnya Ya Allah...kain cadarnya meluluhkan hati, pakaiannya indah tersolek di tubuh semampainya, panjang, menutup auratnya, yang memang harus tertutup. Binar binar kornea di matanya tajam menatap mataku, tapi beda sekali hati ini menjawab tatapannya...” Khayal Fazar di sela-sela sore seraya menatap langit yang di penuhi kuning lembayung.
      Cepat Fazar megistigfarkan nafsu kalbunya “Astagfirullahaladzim” dia masih sadar secantik dan sesolehah kakanya, tak mungkin sampai jatuh cinta pada pelukan hangat kakaknya. Tapi, mungkinkah pada sang wanita?
      Isya tiba tepat saat jam dinding melabuhkan detak-detaknya di angka 7. Langit lembayung berubah jadi gelap. Kembali lagi rasa itu timpali hati sang wanita, sayup-sayup kerinduan, mendalam, pada lantunan.
      “Kak, Fazar shalat isya dulu di masjid ya” lalu keluar dan pergi.
      Di kamarnya, yang penuh dengan aura kelembutan hati wanita solehah, tersudut sang wanita yang telah bertudung mukena. Harap-harap cemas wanita itu.
      “Kenapa hati ini, berdegup terus rasanya, Ya Allah tenangkan hati ini Ya Allah..”
      Naungan kerinduan terpusat di relung hati sang wanita. Mendalam, sangat mendalam. Sampai suara Fazar yang cukup keras tak terdengar oleh pikirannya. Bertekuk pada irasional rasa hatinya.
      “Allahuakbar Allahuakbar.. Allahuaakbar Allahuakbar.. Asyhadu alla illahaillallah...Asyahadu anna muhamadurrasulullah.. hayya alla sollah.. hayya alalfala.. Allhuakbar Allahuakabr.. Lailahaillallah”
      Alih-alih rasa nikmati kumandang adzan di bawah naungan cinta. Terpikat makin dalam rasa sang wanita pada lantunan indah adzan di waktu isya, seseorang yang sama.
      Sang wanita cepat sucikan lagi hatinya dengan wudhu sempurnanya, lalu shalat dan  memanjatkan do’a cintanya pada sang Kuasa yang mulai berkurang rasanya.
      “Ya Allah.. Hangat cinta ini takkanmudah berganti begitu saja.. Bodoh rasanya jika hamba menyia-nyiakan cinta MU untuk sebait rasa jiwa pada sebuah ‘lantunan’. Ya Allah lidungi aku dari nafsu manusia, yang muncul tiba-tiba, sesungguhnya cintaku hanya padaMu, memburai akan kecintaan dunia dan manusia.”
      Dilewatkannya lagi rasa itu di malam suntuknya, tersiksa bukan bahagia.
      Tangannya menggurat aksara di keheningan malam yang tiba, hanya beberapa kata ternoktah dalam diarinya.
      Takluki hatiku dengan suara. Mustahil rasanya. Tapi nyata adanya. Suaramu... Lelehkan butiran rasa, tak tahu hati ini harus berkata.
    Aku cinta kau karena Allah....
    Mengalir tangannya berkata-kata, menari-nari dalam dekapan mesra sang gulita. Sesaki hatinya, penuh tanda tanya, tuk sebuah ‘lantunan’ yang indah. Dikubur sesaat rasa itu dalam curahan logika yang terkantuk, tuk istirahatkan raga barang semalam.
      Sang adik baru saja tiba dari rumah sang Illahi, melakukan hal yang sama, istirahat barang semalam.
“Kukuruyuuuuuuuuk”
            Si jalu, jam hebat ciptaan Tuhan, membangunkan istirahat semalam Fazar. Terucap doa bangun tidur di bibir mungil Fazar. Ambil air wudhu, lalu dilakukanlah shalat pagi 2 rakaat.
            “Audzubillahiminasyaitanirrajim...Bismillahirrahmanirrahim...”
            Taawuz dibacanya dengan penuh khidmat, suara nya merdu, lafadz ayat suci Allah dinadakan oleh suara indahnya. Dibukanya surah An Nisa dan bertilawah ria lah dirinya dengan lantunan indahnya di waktu masih tertidur beberapa orang di luar sana. Tak tahu tepatnya siapa.
            Sang wanita masih terpekur dalam rasa kantuknya, namun cepat bangkit dan berucap doa setelah tidur saat telinganya mendengar tilawah seseorang yang begitu jelas tergambar khidmat dan indah.
            “Suaranya... Indah... Suaranya... Suara itu! Ya Ya! Suara indah kumandang isya!” coba dia mengingat kembali suara itu. Sama ternyata.
            Wanita itu coba keluar dari kamar beraura kesolehannya dan mendengar di telinganya..jelas sekali, tilawah itu berasal dari di kamar adiknya. Yang hanya terpaut 2 ruangan dari kamarnya.
            “Jadi.. Itu suara indah kau dik, jadi.. aku jatuh cinta pada... ad..adik.ku? Mustahil!!! Tidak, ini mimpi!!!” Bertanyalah diriku diri sendiri dan coba cubit kulit ini, “aaaaw” sakit, nyata!.
            Langkahnya mantap menuju kamar itu, kamar Fazar, adiknya yang telah diketahuinya adalah sang pelantun misterius penakluk hatinya. Berdesir makin lembut hatinya makin dekat mendengar suara indah lantunan ayat suci Al-Qur’an.
            Tertutup rapat-rapat matanya dalam keindahan suara merdu Fazar. Terucap lah kata yang tak biasa, terus dan terus kata-katanya diucap, kata pernyataan cintanya, “Aku cinta kau kerana Allah dik” berulang terus berulang, tak tersadar sampai Fazar telah selesai berlantun ayat suci Allah.
            “Sodaqallahualazdim”
            Masih saja wanita itu berkata-kata di depan kamar adiknya, sambil masih tertutup rapat matanya “Aku cinta kau karena Allah dik”.
            Fazar membuka pintu kamarnya ‘krek...”. Berkacalah matanya setelah mendengar ungkapan cinta kakaknya, begitu besar... sampai Allah terbawa pada cinta kakanya itu. Cinta yang begitu besar pada seorang adik , Fazar memeluk erat kakanya dalam limbung kecintaan yang terkira dirinya.
            “Sama kak.. Fazar juga cinta kakak karena Allah”
            Sekelumit rasa menyadari hal itu, aku pun hanya tersenyum cinta padanya, cinta BIASA pada seorang kakak kepada adik.
            “Dia balas rasa ini Ya Allah...Bahagia rasanya. Andai dia tahu, rasa ini lebih besar dari rasa cinta seorang kaka pada adiknya, lebih luas dari semerah kasih cinta seorang kaka pada adiknya, lebih mendalam dari sedalam lautan cinta seseorang kaka pada adiknya. Ini berbeda... Aku mencintaimu seperti aku mencintai Allah.”
            Tangisan.. yang hanya bisa keluar kala itu. Di pundaknya aku teteskan setiap cinta yang kupunya. Kata-kata jiwa itu tak bisa terungkap jelas padanya, begitu tertutup membungkam mulut ini tak bisa berkata.
            “Ya Allah, nyatakah cinta adanya..Apa cinta hanya ungkapan nafsu belaka...Cinta memang buta Ya Allah... Rasanya ini bukan nyata...”
            Selalu dan selalu sang wanita itu memikirkan rasa nya setiap kali ia shalat, tak pernah terlupa rasa mendalam itu, rasa cinta yang buta pada sang adik, bukan, memang bukan cintah fitrah yang biasa ada.
            Bertahun-tahun terpendam rasa yang nyata di punyanya, sang wanita terus menunggu,, terus menunggu waktu agar bisa ungkap rasa itu pada adik yang jadi satu darah daging dengan dirinya...
Menderita...Menderita, menderita memang.
Gila...Gila, gila memang.
Mustahil...Mustahil, mustahil memang.
            Ajal menemui sang wanita, yang masih menderita, gila dan merasa mustahil akan cintanya. Malaikat Izrail mengambil nyawa sang wanita, nyawa yang dipenuhi dengan lantunan indah tuk sebuah kebutaan cinta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar