CINTA...
Nyatakah kau adanya?
Cinta itu universal.
Cinta pada makhluk itu biasa. Cinta pada alam itu lebih dari yang biasa. Cinta
pada Zat Illahi itulah yang luar biasa.
Diawalinya hari dengan muhasabah cinta, pagi hari setia, temani
dalamnya rasa. Tuk apa? Tuk kuatkan iman pada Nya. Agar tak terjerembab masuk
jurang nista dunia.
“Ya Rabb.. Hidup ini fana, kuserahkan semua hidupku hanya
untukMu, tak putus berdoa, agar masuk ke surga milikMu. Ya maha Pemurah lagi
Maha Penyayang, aku tahu, cintaku belum sepenuhnya untukMu. Aku masih
nomorduakan Mu dengan sesuatu, yang tak aku rasai itu. Ku belum sempurna dalam
ibadah. Namun Demi Allah aku mencintaimu lebih dari apapun yang aku cintai di
dunia ini.”
Cinta jadi bahan doanya... Tiap jam dinding berdetak, itulah
tiap dirinya berkata “Kucinta Kau Allah” begitu seterusnya. Dunia ini dirasa
bukan dunianya, bukan dunia sejati, yang kan dihidupi abadi namun lekas pergi,
ketika semua mati.
Hidungnya yang mancung, bibirnya yang merah merekah, pipinya
yang merona tersembunyi sempurna oleh
sehelai kain cadar abu-abu miliknya. Berbinar netra elok bak mata bidadari dunia.
Berbalut pakaian tertutup dengan jilbab tergerai menutupi dadanya. Itulah
dirinya, muslimah sejati yang didekap dunia yang semakin terombang ambing
bencana. Bencana wanita, yang terpendar oleh syakhwat belaka.
“Assalamualaikum...Assalamualaikum ya surga dunia.” Lelaki berpenampilan
rapi nan sholeh dengan wajah bersih dihiasi irisan kumis tipis di atas bibirnya
tepat sedang menunggu salam itu terjawab.
“Assalamualaikum... ya wanita solehah. Jawablah salam ini..
karena salam adalah doa, doaku yang kupanjatkan di depan pintu ini, setiap kali
di pagi hari adalah untukmu. Agar kau jadi penyempurna hidup ini, agar rusuk
yang kumiliki kembali ke tempat yang harusnya didiami.” Lelaki itu tampak penuh
harap memandangi pintu rumah itu, pintu hati dekapan jiwanya. Sambil coba
diketuk pintu itu berulang, hasilnya sama... hening, tak ada jawab dalam
pintanya.
Lelaki itu teteskan air mata kesedihan berpengharap, jatuh ke permukaan tanah yang dipenuhi
rerumputan hijau kelana. Lalu ia pergi dan menghilang entah kemana.
“Waalaikumsalam.” Jawab lembut berbisik oleh wanita sang
pemilik hidung mancung.
Masihlah dia dalam dekapan hangat TuhanNya, terus berdoa,
sesekali menjentrikan jarinya lembut untuk senantiasa bersolawat pada RasulNya.
“Assalamualaikum, wahai wanita mulia. Aku datang kesini tuk
jemput cinta. Cinta dunia tuk sempurnakan hidupku, beralaskan keyakinan aku
datang. Akankah kau jawab salam dan pintaku ini?” Lelaki yang ini tentu beda. Penampilannya
keduniawian, perhiasan di setiap sudut raganya. Dan kau tahu hatinya?
Buruk! Ia hanya pengudara cinta ke setiap
wanita, seakan wanita kuasai dirinya.
“Waaalaikumsalam ya ikhwan” jawab wanita itu lebih keras daripada
sebelumnya. Tapi, tetap tidak terdengar sampai nanungan pintu, dimana lelaki
itu ada.
“JAWAB KALI INI SAJA! SUDAH BERAPA KALI AKU DATANG
KESINI!SATUAN KALIKAH?TIDAK, PULUHAN KALIKAH?TIDAK, YA RATUSAN KALI! KAU HARUS
HARGAI AKU. HARGAI CINTAKU YANG DATANG UNTUKMU! HARGAI CINTAKU DENGAN BALASAN CINTA
KASIH MU! AKU BERHARAP PENUH PADAMU, WANITAKU, JADILAH WANITAKU!” Gejolak
kemarahan lelaki kedua itu tak terbendung, nada tinggi seakan merayapi alam
qalbunya yang tenang jadi menggerayang. Pikirannya kalang kabut tuk dapati
wanita dibalik pintu merah, semerah jiwanya kala itu. Nafsu memuncak
sampai-sampai niatnya mau rusaki pembatas merah itu, sang pintu.
Sang pemilik bibir merah merekah itu sontak mengucap
“Astagfirullahilaladzim...” beristigfar lah dia, masih dengan nada rendahnya,
lembut, selembut pasir putih pantai dalam genangan ombak mengayun.
Berjalanlah dirinya menuju pintu dengan masih meminta
perlindungan AllahNya yang sangat ia cinta. Asma Allah tereka diantara
bayang-bayang dibalik pintu itu, semakin dan semakin dekat lagi dengan pintu.
Tapi hatinya seakan menegur untuk tidak sampai membuka pintu. Akhirnya
berhentilah ia dibalik pintu, menyenderkan punggung indahnya dibalik pintu, tuk
dengar hati lelaki itu berkata.
Hati lelaki itu seolah mati, Jiwanya semakin ganas, menggerogoti
relung hatinya, semakin berapi-api oleh zat Tuhannya, iblis yang menjelma jadi
wanita.
Tidak lama, lelaki itu lakukan hal yang sama seperti lelaki
sebelumnya. Sedih dalam kejantanannya, kemarahan jiwanya, keegoan hatinya.
Menetes lah air kesedihan ke permukaan tanah, jatuh...lalu ia pergi entah
kemana.
Menetes jua lah bulir dari netra elok wanita itu, semakin sendu
dalam nuansa berbalut cinta Pada Tuhannya, yang kuasai hatinya. Buliran sendu
itu bukan tuk para pujangga cintanya tapi tetap, untuk kekasih hatinya, Allah
Azza Wajala.
“Assalamualaikum...” Salam terucap dari lelaki ini, ini yang
ketiga. Namun ia lekas pergi, karena salamnya tercampaki, oleh rasa elok wanita
yang masih suci.Tapi, dia tak lakukan hal yang sama seperti lelaki sebelum dan
sebelumnya, dia bukan pungga cinta. Bukan.
Adzan isya dikumandangkan indah oleh lantunan sempurna sang
muadzin, menetes lagi keindahan bulir netra tajamnya.. Semakin terpikat hati
nya pada cinta yang sama, Allah yang berkuasa. Solatlah ia dengan kekhusyuan
yang luar biasa.
“Allahuakbar...” Takbir lembut mengawali khusyu shalatnya sang
wanita pemilik pipi merona.
Dalam sujud isya nya di rakaat ke 4, kekhusyuan shalatnya
hilanglah sudah, berkat keduniawian yang sempat melintas pikirannya.
”Siapa yang melantunkan lafadz
adzan itu..? Siapa yang mampu menggertakan hati ini dengan nyanyian merdu suara
adzan itu? Siapa yang bisa sesempurna itu dalam melantunkan adzan sampai hati
ini luluh, siapakah dia YaAllah...Hati ini beda adanya. Luluh oleh lantunan
itu.”
Cepat dirinya bangkit
tuk melanjutkan shalat isya 4 rakaatnya pada sang Lillah, bertasyahud akhir
dengan kembali menutup keingintahuan hati nya bertanya. Bertanya soal cinta
baru yang tumbuh dalam hati paling kecilnya.
Embun di pagi buta bersorak syukur bersama dinginnya sang pagi,
masih Tuhan bisa hidupi, bersama dinginnya pagi sayup-sayup rindu wanita itu
timbul lalu hilang lalu timbul lagi lalu hilang lagi dan begitu seterusnya.
“Assalamualaikum” ucap seorang
lelaki dengan suara peralihan pubernya, ia masih muda, baru berjuang dari ibu
kota, bukan pujangga, tapi, si lelaki ketiga.
Suara salam itu lantas cepat dijawab oleh wanita yang masih
rasai rindu yang cekam hati dan jiwanya.
“Waalaikumsalam.. siapa antum?” Jawab ramah si wanita sambil
matanya melarak lirik wajah lelaki itu, lalu pengingatannya kembali lagi.
“Dik .. Kamu adikku kan? Subhanallah, sudah besar kamu ya..
Berubah sekali. Kamu terlihat lebih dewasa dan tampan, ayo silahkan masuk gubug
kakamu ini” wanita itu menyambut hangat adiknya yang baru tiba.
Fazar namanya, ia adalah adik dari wanita itu. Tampan, soleh,
akhlaqul karimah, badannya tinggi tegap, sama bersih elok rupanya seperti sang
wanita. Dihiasi wajahnya oleh hidung mancungnya dengan bibir mungil yang merah
muda dan bulu bulu halus di sekitar pipinya.
“Afwan ka, Fazar tidak beritahu kaka sebelumnya datang kesini,
sebenarnya kemarin Fazar sudah datang kesini, namun tak ada yang jawab salam
fazar, jadi fazar menetap di masjid Insani semalaman.” Jelas Fazar dengan mata
yang menatapi sempurna netra berbinar kakanya itu.
“Astagfirullah..Kenapa tidak sms kaka saja?” Tanya wanita itu
ke adiknya.
“Kontak Fazar di handpone
hilang semua ka.. terhapus tak terkira, tak tahu kenapa..” Jawab Fazar
dengan tampang yang menunjukan sedih raut rupa nya.
Pikiran wanita itu
kembali pada kejadian kemarin, hatinya mendesir rindu pada lantunan adzan isya
yang dikumandangkan seseorang. Mulanya, ia ingin bertanya pada sang adik,
“siapa yang mampu seindah itu dalam mengumandangkan adzan di waktu isya kemarin
dik?” Hah, namun bukan waktu yang tepat.
“Fazar rindu kakak.. Di
Jakarta Fazar sudah dapat kerja, di perusahaan ternama, sekarang lagi ambil cuti
buat jenguk kaka, kasian kan, sendiri di rumah..” Kata Fazar menjelaskan tujuan
datangnya.
“Aku pun rindu kau dik, 3 tahun lalu kamu masih ingusan,
sekarang berubah 180.” Ucap sang wanita membalas
kerinduan adiknya itu.
“Ayo, kakak antar ke kamarmu” ajak wanita itu dengan sejuta
kerinduan yang masih belum lepas, rasanya ingin sekali memeluknya,
menggendongnya, mencubitnya namun dia sudah terlalu besar kini.
Lembayung kuning menemani
sore sang Fazar yang bahagia, bahagia bisa bersua kembali, dengan sang wanita yang
disapanya dengan kakak, elok dan suci kalbunya.
“Makin sempurna saja jilbabnya
Ya Allah...kain cadarnya meluluhkan hati, pakaiannya indah tersolek di tubuh
semampainya, panjang, menutup auratnya, yang memang harus tertutup. Binar binar
kornea di matanya tajam menatap mataku, tapi beda sekali hati ini menjawab
tatapannya...” Khayal Fazar di sela-sela sore seraya menatap langit yang di
penuhi kuning lembayung.
Cepat Fazar megistigfarkan nafsu kalbunya
“Astagfirullahaladzim” dia masih sadar secantik dan sesolehah kakanya, tak
mungkin sampai jatuh cinta pada pelukan hangat kakaknya. Tapi, mungkinkah pada
sang wanita?
Isya tiba tepat saat jam dinding melabuhkan detak-detaknya di
angka 7. Langit lembayung berubah jadi gelap. Kembali lagi rasa itu timpali
hati sang wanita, sayup-sayup kerinduan, mendalam, pada lantunan.
“Kak, Fazar shalat isya dulu di masjid ya” lalu keluar dan
pergi.
Di kamarnya, yang penuh dengan aura kelembutan hati wanita
solehah, tersudut sang wanita yang telah bertudung mukena. Harap-harap cemas
wanita itu.
“Kenapa hati ini, berdegup terus rasanya, Ya Allah tenangkan
hati ini Ya Allah..”
Naungan kerinduan terpusat di relung hati sang wanita.
Mendalam, sangat mendalam. Sampai suara Fazar yang cukup keras tak terdengar
oleh pikirannya. Bertekuk pada irasional rasa hatinya.
“Allahuakbar
Allahuakbar.. Allahuaakbar Allahuakbar.. Asyhadu alla illahaillallah...Asyahadu
anna muhamadurrasulullah.. hayya alla sollah.. hayya alalfala.. Allhuakbar
Allahuakabr.. Lailahaillallah”
Alih-alih rasa nikmati kumandang adzan di bawah naungan cinta.
Terpikat makin dalam rasa sang wanita pada lantunan indah adzan di waktu isya,
seseorang yang sama.
Sang wanita cepat sucikan lagi hatinya dengan wudhu
sempurnanya, lalu shalat dan memanjatkan
do’a cintanya pada sang Kuasa yang mulai berkurang rasanya.
“Ya Allah.. Hangat cinta ini takkanmudah berganti begitu saja..
Bodoh rasanya jika hamba menyia-nyiakan cinta MU untuk sebait rasa jiwa pada sebuah
‘lantunan’. Ya Allah lidungi aku dari nafsu manusia, yang muncul tiba-tiba,
sesungguhnya cintaku hanya padaMu, memburai akan kecintaan dunia dan manusia.”
Dilewatkannya lagi rasa itu di malam suntuknya, tersiksa bukan
bahagia.
Tangannya menggurat aksara di keheningan malam yang tiba, hanya
beberapa kata ternoktah dalam diarinya.
Takluki hatiku dengan suara.
Mustahil rasanya. Tapi nyata adanya. Suaramu... Lelehkan butiran rasa, tak tahu
hati ini harus berkata.
Aku cinta kau karena
Allah....
Mengalir tangannya
berkata-kata, menari-nari dalam dekapan mesra sang gulita. Sesaki hatinya,
penuh tanda tanya, tuk sebuah ‘lantunan’ yang indah. Dikubur sesaat rasa itu
dalam curahan logika yang terkantuk, tuk istirahatkan raga barang semalam.
Sang adik baru saja tiba dari rumah sang Illahi, melakukan hal
yang sama, istirahat barang semalam.
“Kukuruyuuuuuuuuk”
Si jalu, jam hebat ciptaan Tuhan, membangunkan istirahat
semalam Fazar. Terucap doa bangun tidur di bibir mungil Fazar. Ambil air wudhu,
lalu dilakukanlah shalat pagi 2 rakaat.
“Audzubillahiminasyaitanirrajim...Bismillahirrahmanirrahim...”
Taawuz dibacanya dengan penuh
khidmat, suara nya merdu, lafadz ayat suci Allah dinadakan oleh suara indahnya.
Dibukanya surah An Nisa dan bertilawah ria lah dirinya dengan lantunan indahnya
di waktu masih tertidur beberapa orang di luar sana. Tak tahu tepatnya siapa.
Sang wanita masih terpekur dalam rasa kantuknya, namun
cepat bangkit dan berucap doa setelah tidur saat telinganya mendengar tilawah
seseorang yang begitu jelas tergambar khidmat dan indah.
“Suaranya... Indah... Suaranya... Suara itu! Ya Ya! Suara
indah kumandang isya!” coba dia mengingat kembali suara itu. Sama ternyata.
Wanita itu coba keluar dari kamar beraura kesolehannya
dan mendengar di telinganya..jelas sekali, tilawah itu berasal dari di kamar adiknya.
Yang hanya terpaut 2 ruangan dari kamarnya.
“Jadi.. Itu suara indah kau dik, jadi.. aku jatuh cinta
pada... ad..adik.ku? Mustahil!!! Tidak, ini mimpi!!!” Bertanyalah diriku diri
sendiri dan coba cubit kulit ini, “aaaaw” sakit, nyata!.
Langkahnya mantap menuju kamar itu, kamar Fazar, adiknya
yang telah diketahuinya adalah sang pelantun misterius penakluk hatinya.
Berdesir makin lembut hatinya makin dekat mendengar suara indah lantunan ayat
suci Al-Qur’an.
Tertutup rapat-rapat matanya dalam keindahan suara merdu
Fazar. Terucap lah kata yang tak biasa, terus dan terus kata-katanya diucap,
kata pernyataan cintanya, “Aku cinta kau
kerana Allah dik” berulang terus berulang, tak tersadar sampai Fazar telah
selesai berlantun ayat suci Allah.
“Sodaqallahualazdim”
Masih saja wanita itu berkata-kata di depan kamar
adiknya, sambil masih tertutup rapat matanya “Aku cinta kau karena Allah dik”.
Fazar membuka pintu kamarnya ‘krek...”. Berkacalah
matanya setelah mendengar ungkapan cinta kakaknya, begitu besar... sampai Allah
terbawa pada cinta kakanya itu. Cinta yang begitu besar pada seorang adik ,
Fazar memeluk erat kakanya dalam limbung kecintaan yang terkira dirinya.
“Sama kak.. Fazar juga cinta kakak karena Allah”
Sekelumit rasa menyadari hal itu, aku pun hanya tersenyum
cinta padanya, cinta BIASA pada seorang kakak kepada adik.
“Dia balas rasa ini
Ya Allah...Bahagia rasanya. Andai dia tahu, rasa ini lebih besar dari rasa
cinta seorang kaka pada adiknya, lebih luas dari semerah kasih cinta seorang
kaka pada adiknya, lebih mendalam dari sedalam lautan cinta seseorang kaka pada
adiknya. Ini berbeda... Aku mencintaimu seperti aku mencintai Allah.”
Tangisan.. yang hanya bisa keluar kala itu. Di pundaknya
aku teteskan setiap cinta yang kupunya. Kata-kata jiwa itu tak bisa terungkap
jelas padanya, begitu tertutup membungkam mulut ini tak bisa berkata.
“Ya Allah, nyatakah
cinta adanya..Apa cinta hanya ungkapan nafsu belaka...Cinta memang buta Ya
Allah... Rasanya ini bukan nyata...”
Selalu dan selalu sang wanita
itu memikirkan rasa nya setiap kali ia shalat, tak pernah terlupa rasa mendalam
itu, rasa cinta yang buta pada sang adik, bukan, memang bukan cintah fitrah
yang biasa ada.
Bertahun-tahun terpendam rasa yang nyata di punyanya,
sang wanita terus menunggu,, terus menunggu waktu agar bisa ungkap rasa itu
pada adik yang jadi satu darah daging dengan dirinya...
Menderita...Menderita,
menderita memang.
Gila...Gila, gila memang.
Mustahil...Mustahil, mustahil memang.
Gila...Gila, gila memang.
Mustahil...Mustahil, mustahil memang.
Ajal menemui sang wanita, yang masih menderita, gila dan
merasa mustahil akan cintanya. Malaikat Izrail mengambil nyawa sang wanita,
nyawa yang dipenuhi dengan lantunan indah
tuk sebuah kebutaan cinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar